tag:blogger.com,1999:blog-11050567314492004582024-03-13T09:11:16.218+07:00Perhimpunan Rakyat PekerjaPerhimpunan Rakyat Pekerjahttp://www.blogger.com/profile/13408951774927289203noreply@blogger.comBlogger127125tag:blogger.com,1999:blog-1105056731449200458.post-59831405417684212342007-08-04T13:31:00.000+07:002007-08-04T13:47:32.622+07:00Peran Cagub DKI atasi naiknya harga-harga*<span style="font-style:italic;">Eka Pangulimara H**</span><br /><br />Berita-berita terakhir, baik di koran maupun televisi, bangsa ini seperti hendak menghadapi krisis baru. Titiwancinya adalah naiknya berbagai macam kebutuhan masyarakat. Yang paling menonjol cabe merah keriting yang menembus angka Rp. 30.000/kg, dan minyak goreng hingga Rp. 9.000/kg. Harga komoditas lain seperti telur, gula, terigu, juga terus bergerak naik.<br /><span class="fullpost"><br />Ada dua penyebab. <span style="font-style:italic;">Pertama</span>, jelang hari raya Idul Fitri bagi umat muslim, yang sebentar lagi dirayakan. Telah menjadi siklus bahwa pada masa-masa seperti ini harga-harga kebutuhan naik lumayan drastis. Utamanya disebabkan permintaan yang meningkat tajam di saat masyarakat memerlukan berbagai macam komoditas guna “<span style="font-style:italic;">menikmati</span>” suasana lebaran dalam keadaan serba cukup. <br /><br /><span style="font-style:italic;">Kedua</span>, kenaikan harga BBM yang diputuskan pemerintah mulai 1 Oktober 2005 yang lalu. Kenaikan rata-rata yang melebihi angka 100% ini dipastikan mendorong naiknya harga-harga kebutuhan, minimal karena biaya transportasi yang melonjak.<br /><br />Penyebab kedua lebih berpengaruh dibanding momentum menjelang lebaran. Hal ini karena pengaruh naiknya harga BBM lebih material daripada kenaikan jelang lebaran yang seringkali diakibatkan masalah psikologis pada diri pedagang. Kenaikan harga BBM kemarin juga mendorong pedagang untuk menaikkan harga untuk mengambil untung sebanyak-banyaknya. Dengan kondisi daya beli yang menurun, kaum pedagang tahu kenaikan harga yang “keterlaluan” akan sangat sensitif bagi pembeli.<br /><br />Tren naiknya harga menjelang lebaran selama ini dimahfumi orang banyak. Selewat lebaran, harga-harga komoditas akan bergerak turun mencapai harga normal. Namun kondisi saat ini tidak ada jaminan seperti itu. Kenaikan biaya transportasi akibat naiknya harga BBM tidak bisa ditawar lagi. Akibatnya harga tinggi berbagai macam kebutuhan saat sekarang berpotensi tidak turun, bahkan naik lagi di waktu-waktu yang akan datang.<br /><br />Potensi naiknya kembali harga-harga kebutuhan pokok selepas lebaran disumbang oleh rencana naiknya tarif dasar listrik (TDL), PDAM, tarif Telkom, BBM industri, elpiji yang harganya ditetapkan. Naiknya TDL di awal-awal tahun 2006, misalnya, diprediksikan akan memukul usaha konveksi yang berujung pada PHK massal para pekerjanya. Di samping proyeksi pengusaha untuk mengubah status para buruh menjadi sistem kontrak/outsourcing yang marak belakangan ini, ditenggarai dengan cara PHK massal. Semakin mendapat legitimasi dengan serba tingginya ongkos produksi yang dikeluarkan.<br /><br /><span style="font-weight:bold;">Pendidikan Terancam</span><br />Salah satu sektor yang paling terancam adalah dunia pendidikan dengan prediksi kenaikan angka putus sekolah. Kenaikan BBM menaikkan biaya transportasi cukup tinggi. Anak sekolah yang biasa menggunakan angkutan menuju sekolah akan terbebani oleh biaya transport yang melonjak. Kenaikan sebesar Rp. 500 sekali naik saja berarti orang tua harus menaikkan anggaran transport sebesar Rp. 30.000/bulan/anak sekolah. Sering anak yang disekolahkan mencapai 3 sampai 4 anak, sehingga biaya transport saja bisa mencapai 120.000/bulan.<br /><br />Gambaran ini akan memaksa orang tua berpenghasilan pas-pasan akan memprioritaskan pendidikan anak-anaknya ke level lebih rendah. Kebutuhan untuk bertahan hidup jelas dinomersatukan. Orang tua dengan anak usia sekolah yang banyak akan mengurangi jumlah anak yang bersekolah, terutama yang dikorbankan adalah anak perempuan.<br /><br />Penyesuaian pemenuhan kebutuhan (ketika harga-harga kebutuhan naik sementara penghasilan tetap) yang bisa ditempuh adalah dengan mengurangi asupan gizi atau nilai nutrisi. Tetapi kiat ini bukannya tak beresiko. Pengurangan gizi secara kontinyu bisa berakibat fatal berupa merebaknya penyakit-penyakit kekurangan gizi seperti busung lapar (<span style="font-style:italic;">marasmus kwasiorkhor</span>) dan penurunan kecerdasan.<br /><br />Siapa yang bertanggung jawab terhadap kemungkinan buruk tersebut? Tentu saja pemerintah yang telah “tega” menaikkan harga BBM demikian tinggi. Semestinya pemerintah tidak lepas tangan terhadap dampak buruk naiknya harga BBM pada rakyatnya sendiri. Pemerintah mesti mendayagunakan seluruh energinya untuk membantu rakyat agar tidak kelimpungan memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Naiknya harga BBM secara otomatis memperkuat APBN. Masyarakat pantas berharap seluruh devisa yang diperoleh dari kebijakan menaikkan harga BBM digunakan kembali seluruhnya untuk rakyat.<br /><br />Namun sejauh ini, selain dana kompensasi langsung, sepertinya belum ada <span style="font-style:italic;">action</span> pemerintah yang mampu secara signifikan membantu masyarakat menghadapi melonjaknya harga-harga. Terdapat waktu jeda yang tidak bisa ditentukan lamanya sampai ada <span style="font-style:italic;">action</span> pemerintah yang memadai. Dan selama itu pula masyarakat terus dihantui kenaikan harga kebutuhan tanpa ada yang bisa mengendalikan.<br /><br /><span style="font-weight:bold;">Peran Para Cagub</span><br />Kini masyarakat Ibukota haruslah memilih satu di antara dua. Yang satunya, Fauzi Bowo yang merupakan Cagub yang diangkat oleh koalisi 20 Parpol, dan Adang dengan dukungan PKS sebagai partai tunggal di belakangnya. Apapun yang mereka lakukan, barulah nampak obralan beribu janji, terkesan sloganistik. Dan tidak lebih dari jargonistik dalam masa-masa kampanye seperti yang sudah-sudah.<br /> <br />Kita tengok kebijakan menaikan harga BBM misalnya, memang keputusan pemerintah pusat. Gubernur dan DPRD selalu berargumen demikian untuk menunjukkan ketidakberdayaan pemerintah di ibukota berikut daerah. Kita mengamini hal tersebut. Namun seyogyanya pernyataan tersebut tak mengindikasi lepas tangannya sosok gubernur dari persoalan yang dihadapi masyarakat. Sebab entah dari mana sebuah kebijakan turun, deretan kemiskinan warga Ibukota, tak selalu lebih baik dari masyarakat daerah.<br /><br />Oleh karena itu, para Cagub mesti berpikir keras, menghitung-hitung kemampuan dan kinerja diri nantinya, mencari usulan dari sana-sini, yang seluruhnya digunakan demi memperkuat ketahanan ekonomi warga Ibukota. Tentu saja tugas ini adalah hal rutin dan inheren sebagai kerja gubernur terpilih berikut lima Pemkotnya. Namun intensitas dan besarannya harus lebih difokuskan dan dipersiapkan betul untuk saat-saat sekarang.<br /><br />Resiko yang dihadapi cukup besar. Untuk kota Jakarta, terdapat karakteristik tercetusnya luapan masyarakat yang tidak puas dengan keadaan melalui jalan kekerasan. Di tahun 1998 kemarin, kota ini mengalami prahara hebat berupa kerusuhan massa yang meluluhlantakkan hampir seluruh persendian ekonomi kota. Belum lagi sikap sebagian besar warga Ibukota yang sudah terlanjur abai dengan elit dan partai politik.<br /><br />Melakukan intervensi langsung untuk mempengaruhi harga kebutuhan mungkin mustahil dilakukan. Selain daya dukung APBD tidak memadai, intervensi harga dapat mendistorsi pasar. Tidak lebih dari dua minggu ke depan, agaknya para Cagub belum menampakkan strategi operasional di levelan program penyelesaian kompleksitas problem di Ibukota. Yang dapat dipertontonkan kepada masyarakat luas.<br /><br />Ada beberapa tindakan nyata yang lebih realistis. <span style="font-style:italic;">Pertama</span>, meninjau kembali UMK (upah minimum kota) untuk buruh dan mendorong naiknya upah buruh sampai mendekati atau setara kebutuhan hidup layak (KHL). Upaya ini akan mendapat resistensi dari pengusaha yang akan makin terbebani. Cagub dalam hal ini bisa menawarkan pengurangan instrument-instrumen tertentu yang sampai kini memperbesar biaya produksi. Biaya siluman seperti pungutan liar harus dikikis habis dan menjadi agenda utama para Cagub untuk membantu dunia usaha yang hasilnya bisa dinikmati kaum buruh.<br /><br /><span style="font-style:italic;">Kedua</span>, pengalokasian dana kota ke hal-hal yang semakin urgent. Biaya-biaya kota harus dikurangi, mobil dinas mewah kalau perlu bukan cuma diganti tapi dijual (daripada membebani biaya operasionalnya). Biaya operasional dan pemeliharaan aset negara juga dapat dikurangi. Pengurangan AC untuk ruang para pejabat. Kondisi gedung tidak perlu terlihat kinclong, sebab keadaan tersebut justru akan berkebalikan dengan kondisi masyarakat yang serba payah.<br /><br /><span style="font-style:italic;">Ketiga</span>, seluruh pejabat tinggi seperti gubernur dan wakilnya, anggota dewan dan pejabat eselon dipotong gajinya. Jumlahnya mungkin tak seberapa tapi menyimbolkan kesulitan yang kini dihadapi masyarakat juga dialami para pejabat tinggi. Terdapat suasana solidaritas di mana pejabat tidak berada dalam kesenangan di atas penderitaan rakyat.<br /><br />Untuk sektor pendidikan, bisa diupayakan perbanyakan pengadaan bis kota khusus bagi anak sekolah yang langsung menjemput mereka dari tempat tinggal sampai ke sekolah (tidak perlu berganti-ganti bis kota). Bis DAMRI dengan subsidi gubernur adalah alternatifnya, di mana pada jam berangkat dan pulang sekolah disulap khusus sebagai bis sekolah. Anggaran yang dihemat dari kebijakan pengetatan anggaran maupun potong gaji pejabat bisa dialihkan ke keperluan ini.<br /><br />Yang jelas, entah apapun tindakan para Cagub yang terpilih, setidaknya mewakili gambaran pada masyarakat bahwa pejabat publik tidak pernah berleha-leha dalam menghadapi situasi terburuk sekalipun.<br /><br /><span style="font-style:italic;">*Tulisan ini pernah dipublikasikan oleh Buletin SADAR (prakarsa-rakyat.org)</span><br /><span style="font-style:italic;">**Penulis adalah anggota Solidaritas Buruh Pelabuhan Indonesia (SBPI) Jakarta dan anggota PRP Komite Kota Jakarta Raya</span><br /></span><div class="blogger-post-footer">http://my.yahoo.com, http://reader.google.com, http://360.yahoo.com</div>Perhimpunan Rakyat Pekerjahttp://www.blogger.com/profile/13408951774927289203noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1105056731449200458.post-22234756826106758282007-07-28T17:07:00.000+07:002007-07-28T17:13:09.129+07:00Exposure Korban Pelanggaran HAM ke Aceh*<span style="font-style:italic;">Agnes Gurning**</span><br /><br />Penandatanganan nota kesepahaman (MoU), antara pemerintah Indonesia dengan Kelompok Gerakan Aceh Merdeka (GAM), pada 15 Agustus 2005 di Helsinki, Finlandia, merupakan awal bagi lahirnya sebuah proses menuju kedamaian Aceh yang permanen. Peristiwa bersejarah ini merupakan penantian panjang dan melelahkan dari para pendamba kedamaian, terutama masyarakat korban. Karena itu, dukungan terhadap kesepakatan damai tersebut menjadi penting, sebab disadari setiap tahapan proses yang akan dilalui memiliki potensi untuk gagalnya kesepakatan damai tersebut. Kegagalan perundingan pada masa Cessation of Hostilities Agreement (COHA), mesti menjadi pengalaman sejarah yang amat berharga untuk tidak sampai terulang kembali. Karena itu, menjaga, mengawal dan memastikan semua tahapan proses tersebut berjalan sesuai kerangka perjanjian dengan sendirinya menjadi penting dilakukan.<br /><span class="fullpost"><br />Korban pelanggaran HAM merupakan stakeholder utama dalam proses perdamaian ini. Di dalam MoU, secara tegas disebutkan bahwa korban merupakan pihak yang menjadi pihak pihak yang terlibat dalam setiap tahapan. Korban pelanggaran HAM bukan hanya ketika Pengadilan HAM memanggil para korban menjadi saksi atau ketika para Komisioner KKR mewawancarai para korban dalam rangka mengungkap kebenaran, tetapi korban juga akan terlibat pada saat pemberian amnesti bagi pelaku jika korban memberikan maaf. Apabila korban tidak solid maka peluang untuk di adu domba cukup besar serta para korban hanya menjadi objek pada pelaksanaan kedua instrumen tersebut.<br /> <br />Begitu juga dalam pelaksanaan proses reintegrasi. Korban merupakan kelompok yang disebutkan dalam MoU sebagai penerima dana reintegrasi. Tetapi dalam implementasinya, seolah olah korban hanyalah aktor sekunder dari proses reintegrasi itu. Korban tidak pernah terlibat dalam setiap perumusan kebijakan yang berkaitan dengan penyerahan dana reintegrasi. Akses informasi juga sangat tertutup selama pelaksanaan dana itu. Akibatnya, banyak dana yang disalurkan tidak tepat sasaran. Dan sementara korban yang sebenarnya tidak mendapatkan manfaat sama sekali.<br /><br />Berdasarkan permasalahan di atas, menjadi penting keberadaan sebuah wadah korban yang efektif dalam mendorong dan memberi andil dalam setiap tahapan perdamaian. Wadah ini diharapkan dapat menjadi corong untuk menyuarakan aspirasi korban pelanggaran HAM d! alam per umusan kebijakan Negara yang berdampak pada korban. Wadah yang dimaksud, sebenarnya telah didirikan pada tahun 2000 melalui Kongres Rakyat Korban se-Aceh pada tanggal 4 - 6 November 2000 di Gedung Sosial Banda Aceh. Wadah itu bernama Solidaritas Persaudaraan Korban Pelanggaran HAM (SPKP HAM).<br /><br />Struktur kepengurusan SPKP HAM pun dibentuk. Dan sejak saat itu pula komunitas korban di Aceh ini mulai menjalankan kegiatannya dengan lebih terarah. Bantuan kesehatan, pengaduan kasus, investigasi dan advokasi korban terus dilakukan oleh SPKP HAM. Pada tahun 2001 tercatat lebih 300 kasus mereka tangani. Dukungan moral dan immaterial dari berbagai kalangan pun disalurkan melalui SPKP HAM ini.<br /><br />Hampir 7 tahun sudah SPKP HAM berdiri. Berbagai lika-liku dan dinamika organisasi sudah mereka lewati. Bukannya mudah untuk tetap eksis sebagai organisasi korban hingga sekarang, terlebih setelah ditempa situasi konflik yang sempat memanas lagi dan pemberlakuan Darurat Militer di Aceh tahun 2003. Intimidasi dan terror pada periode tersebut sempat membuat aktivitas organisasi ini turun. Beberapa pengurusnya bahkan mengalami penculikan, penahanan dan juga penembakkan. Setelah masa ini, praktis organisasi mengalami status quo dan tak menjalankan aktivitas apapun.<br /><br />Pasca tsunami, beberapa orang caretaker dan aktivis SPKP HAM berkumpul di sekretariat Koalisi NGO HAM untuk mendiskusikan kembali wadah organisasi korban ini. Semua peserta diskusi sepakat untuk membangun kembali organisasi korban ini dengan berbagai pertimbangan khususnya perlunya keterlibatan korban dalam setiap proses pengambilan kebijakan negara atas nasib korban. Untuk itulah disepakati agar dilaksanakan kongres kedua. Kongres kedua ini berlangsung pada tanggal 20 - 23 Juli 2007 di Saree, Aceh Besar.<br /><br />Diselenggarakannya Kongres kedua ini tentu merupakan langkah penting yang menandai kebangkitan komunitas korban di Aceh. Pada masa damai sekarang ini ada ruang yang! tersedia bagi komunitas korban ini untuk mencapai keadilan, yaitu Pen gadilan HAM dan KKR Aceh, terlepas dari segala kontroversi di sekitarnya. Namun kehendak korban untuk mengambil sikap dan posisinya sendiri dalam ruang tersebut merupakan sesuatu yang perlu didukung oleh banyak pihak. Sebab memang sudah saatnya bagi korban untuk bicara tentang nasibnya sendiri.<br /><br />Kongres ini pun merupakan kesempatan emas yang sangat baik untuk korban pelanggaran HAM untuk saling berbagi pengalaman dan bertukar pikiran, tidak hanya bagi mereka yang ada di Aceh tetapi juga yang di luar Aceh. Karena itu, IKOHI sebagai wadah organisasi korban pelanggaran HAM di lingkup nasional pun berupaya agar ajang ini juga bisa dimanfaatkan sebagai pembelajaran bagi komunitas korban di wilayah lain. Dengan bantuan dari ICTJ (International Center for Transitional Justice) maka exposure korban pelanggaran HAM ke Aceh pun dilakukan. 10 orang korban yang berasal dari Papua, Poso, Makassar, Solo, Malang, Jakarta (3 orang) dan bahkan Timor Leste (2 orang) pun diberangkatk! an ke Aceh untuk mengikuti Kongres kedua SPKP HAM tadi.<br /><br />Eksposure ini bertujuan antara lain untuk: membangun tali solidaritas korban pelanggaran HAM; membangun jaringan organisasi korban pelanggaran HAM; saling bertukar strategi perjuangan korban merebut keadilan dan kebenaran; dan saling berbagi pengalaman tentang perjuangan dan aksi yang sudah dilakukan. Keragaman konteks yang terjadi di setiap daerah yang berbeda tersebut diharapkan akan menjadi bahan masukan dan diskusi yang kaya dalam kongres korban ini. Terlebih hadir pula korban dari Timor Leste yang pernah merasakan KKR di negaranya. Dengan demikian harapannya adalah korban dapat merumuskan strategi perjungannya ke depan dengan lebih baik.<br /><br />Eksposure dilakukan tidak sekedar mengikutkan 10 korban tadi dalam kongres. Tetapi mereka akan meluangkan 1 hari sebelumnya untuk live-in di tempat tinggal komunitas korban yang ada di Aceh. Dari sini diharapkan agar mereka dapat berinteraksi secara lebih pribadi sehingga dapat saling menggali informasi yang lebih mendalam.<br /> <br />Yang menarik juga, kesepuluh korban ini diperlengkapi dengan kamera dan buku catatan. Selama perjalanannya di Aceh, masing-masing dari mereka ditugasi untuk memotret dan mencatat setiap hal menarik yang mereka temukan. Kumpulan hasil catatan jurnal dan foto-foto yang dibidik oleh korban tentu akan menjadi bahan yang menarik yang bisa menonjolkan suara dan cara pandang korban.<br /> <br />Sampai saat tulisan ini dibuat, kongres koreban tersebut masih berlangsung. Sebelum korban berangkat ke Aceh, ada keantusiasan yang jelas mereka perlihatkan. Walaupun sebagai orang yang belum pernah masuk wilayah Aceh, ada pula yang menyimpan kekhawatiran tentang kondisi Aceh. Namun kekhawatiran tersebut tak menutup keinginan mereka untuk bersolidaritas dengan sesama korban pelanggaran HAM di Aceh. Untuk mengetahui hasil perjalanan mereka, kita bisa tunggu penuturan mereka seusai berkongres. Galang solidaritas melawan impunitas!<br /><br /><span style="font-style:italic;">* TUlisan sudah sempat dipublikasikan oleh Buletin SADAR (prakarsa-rakyat.org)<br />** Penulis adalah Koordinator Departemen Peningkatan Kapasitas dan Pendataan IKOHI, dan anggota PRP Komite Kota Jakarta Raya</span><br /></span><div class="blogger-post-footer">http://my.yahoo.com, http://reader.google.com, http://360.yahoo.com</div>Perhimpunan Rakyat Pekerjahttp://www.blogger.com/profile/13408951774927289203noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1105056731449200458.post-9740825276898957272007-07-28T17:00:00.000+07:002007-07-28T17:06:51.466+07:00Fauzi Bowo vs Adang Dorodjatun: apa pilihan bagi Rakyat Pekerja Jakarta?<span style="font-style:italic;">Ken Budha Kusumandaru*</span><br /><br />Debat Calon Gubernur yang aneh di SCTV, 25 Juli 2007, menampilkan para juru kampanye dari kubu. Aneh bukan hanya dari isinya, tapi juga dari formatnya, yang hanya menampilkan para juru kampanye. Dari sini saja sudah terlihat bahwa baik Fauzi maupun Adang memang sarat digayuti kepentingan kubu yang “mendukung” di belakangnya. Terlepas dari kemungkinan bahwa SCTV memang hanya mengundang para “jurkam”, seharusnya baik Fauzi maupun Adang tidak melepaskan kesempatan untuk maju sendiri. Kenyataan bahwa mereka tidak bersedia untuk maju bertarung sendiri menunjukkan sampai di mana kualitas sesungguhnya dari kedua calon gubernur ini.<br /><span class="fullpost"><br />Tapi, terlepas dari kualitas pribadi mereka, yang lebih mengkuatirkan bagi rakyat pekerja justru adalah cara mereka memandang persoalan. Aku akan menyoroti soal ketenagakerjaan, satu hal yang sangat berkaitan dengan kepentingan rakyat pekerja di Jakarta.<br /><br /><span style="font-weight:bold;">Kubu Adang</span><br />Kubu Adang menyatakan bahwa mereka bertekad untuk menyediakan lebih banyak lapangan pekerjaan di Jakarta. Bagiku, ini satu pernyataan yang menunjukkan bahwa mereka sama sekali tidak paham masalah ketenagakerjaan, industri, kependudukan dan geopolitik Jakarta. Penyelesaian yang mereka ajukan sangat mudah dikatakan tapi luar biasa sulit untuk dilaksanakan. <br /><br /><span style="font-style:italic;">Pertama</span>, dengan cara apa lapangan pekerjaan akan disediakan? Moderator tidak mengejar lebih jauh soal ini, tapi aku curiga bahwa bagi mereka hanya terbuka dua pilihan: merekrut lebih banyak pegawai negeri atau mempercepat pelaksanaan sistem kontrak dan outsourcing. Kita tahu bahwa, menurut rejim SBY, sistem kontrak dan outsourcing adalah cara untuk menggairahkan industri dan membuka lebih banyak lapangan pekerjaan. Percuma saja membuka banyak lapangan pekerjaan kalau tidak menyediakan kepastian kerja dan jaminan kesejahteraan yang layak. Itu sama saja memberi peluang untuk terjadinya tindak penghisapan keringat buruh secara masif di Jakarta.<br /><br />Sedikit informasi di luar apa yang diungkapkan dalam acara SCTV ini, kubu Adang Dorodjatun telah mengadakan kontrak politik dengan apa yang disebut “Koalisi Buruh Benahi Jakarta”. Ada beberapa butir isi kontrak ini, tapi yang paling menyolok adalah tidak disebutnya sama sekali tentang tuntutan buruh yang mengemuka paling kuat saat ini: menolak PHK massal, sistem kontrak dan outsourcing. Sementara solusi-solusi yang ditawarkan dalam kontrak ini persis dengan isi sogokan yang akan dijalankan melalui program Jamsostek, yakni perumahan murah untuk buruh. Kita perlu bertanya pada Jenderal Adang: kalau seorang buruh mengambil fasilitas rumah susun murah untuk buruh, kemudian di PHK dengan pesangon tidak memadai, bagaimana nasib rumah itu?<br /><br /><span style="font-style:italic;">Kedua</span>, dari sektor industri mana lapangan kerja ini akan dibuka? Kita semua tahu bahwa sentra-sentra industri besar sudah hampir tidak ada lagi di Jakarta – sudah dipindah ke Tangerang-Banten, Bekasi-Karawang atau Bogor. Paling-paling hanya sektor perdagangan, keuangan, administrasi-perkantoran dan jasa pendukungnya (seperti jasaboga atau cleaning service) yang bisa berkembang di Jakarta. Kalau memang sektor industri ini yang diandalkan untuk terbukanya lapangan kerja, kita harus sadari bahwa sektor jasa pada dasarnya merupakan pendukung dari sektor manufaktur. Tanpa adanya landasan yang kokoh di sektor manufaktur, sektor jasa juga akan tercekik. <br /><br /><span style="font-style:italic;">Ketiga</span>, bagaimana dengan soal arus masuk penduduk ke Jakarta? Kita tahu bahwa orang pindah ke Jakarta karena ingin mencari pekerjaan, karena mendengar di Jakarta mudah mendapatkan kerja. Pembukaan lapangan kerja di Jakarta, apalagi jika bersandar pada sektor jasa (yang relatif tidak membutuhkan ketrampilan tinggi), justru akan mendorong terjadinya arus perpindahan penduduk semakin besar ke Jakarta.<br /><br /><span style="font-weight:bold;">Kubu Fauzi</span><br />Jawaban dari kubu Fauzi Bowo lebih mengkuatirkan daripada jawaban asal-asalan dari kubu Adang Dorodjatun. Juru kampanye Fauzi dengan jelas-jelas menyatakan bahwa visi kubu itu adalah membuat Jakarta menjadi kota jasa, dengan meningkatkan semangat kewirausahaan warganya dan memperbesar sektor “informal” [sic!]. Lebih jauh lagi, si jurkam menyatakan bahwa selama warga Jakarta masih “bermental buruh” [sic!] mereka tidak akan pernah sejahtera. <br /><br />Program ini jelas bertentangan dengan kecenderungan yang sekarang dijalankan oleh pasangan Sutiyoso-Fauzi Bowo, yakni menghancurkan semangat wirausaha warga Jakarta, dengan berbagai penggusuran yang dilakukannya. Mungkin saja kata “sektor informal” itu cuma keseleo lidah. Tapi, tetap saja tidak mengubah fakta bahwa di Jakarta ini berwirausaha dengan modal kecil berarti menentang pemerintah. <br /><br />Di samping itu, jawaban yang angkuh ini menunjukkan dengan gamblang pada kita bahwa Fauzi Bowo berwatak anti-buruh. Tidak perlu diterangkan panjang lebar.<br /><br />Kalau kita memperhatikan banyak poster yang bertebaran di jalan-jalan, salah satu slogan kubu Fauzi Bowo adalah: Fauzi menang, UMP Jakarta naik. Pernyataan dalam debat publik ini merupakan penyangkalan terang-terangan terhadap slogan itu. Lagipula, siapapun gubernurnya, UMP Jakarta (atau UMK di kota manapun) pasti naik tiap tahun. Persoalannya bukan pada naik atau tidak naik, tapi apakah kenaikan itu menambah kesejahteraan atau tidak cukup untuk bertahan hidup. <br /><br /><span style="font-weight:bold;">Kesimpulan</span><br />Jadi, saat ini kita berhadapan dengan dua pilihan: yang satu (kubu Adang) tidak memahami persoalan dan nampaknya mengandalkan penyelesaian ala neoliberal untuk soal ketenagakerjaan; sementara yang lain (kubu Fauzi) jelas dan tegas bersikap anti-buruh. <br /><br />Bagiku, Rakyat Pekerja Jakarta harus menolak kedua pasangan calon gubernur ini. Apalagi kita punya tesis, kita punya prinsip, bahwa rakyat pekerja hanya akan sejahtera jika berkuasa. Maka, pengajuan calon independen dari kalangan rakyat pekerja, seorang pimpinan serikat rakyat, adalah hal yang vital dan harus dilakukan oleh organisasi-organisasi rakyat pekerja. Ditolak atau tidak ditolak adalah soal nomor 300, dengan kata lain tidak penting. Yang penting adalah mencari jalan untuk propaganda terbuka atas slogan “Buruh Berkuasa, Rakyat Sejahtera.” <br /><br />Pada ujungnya, tentu kita akan menyerukan pada rakyat pekerja: kita hanya akan memilih pemimpin dari kalangan kita sendiri! Dan kita akan menyatakan diri sebagai oposisi dari rejim baru di Jakarta, siapapun yang terpilih sebagai gubernur di sini. <br /><br /><right>Jakarta, 26 Juli 2007</right><br /><br /><span style="font-style:italic;">*Penulis adalah ketua divisi Pendidikan KP PRP</span><br /><br /></span><div class="blogger-post-footer">http://my.yahoo.com, http://reader.google.com, http://360.yahoo.com</div>Perhimpunan Rakyat Pekerjahttp://www.blogger.com/profile/13408951774927289203noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1105056731449200458.post-62936678155939627502007-07-25T16:33:00.000+07:002007-07-25T17:09:59.248+07:00Perempuan dalam Politik Kelas Pekerja<span style="font-style:italic;">Dwita Handayani*<br /></span><br /><br />Perempuan dalam kehidupan kesehariannya memiliki berbagai pengalaman khusus yang terkadang sulit dipahami kalangan di luar mereka. Pengalaman dan persoalan seperti kesehatan reproduksi, kesejahteraan keluarga, pendidikan, kekerasan dalam rumah tangga, kekerasan sosial dan diskriminasi ditempat kerja.<br /><span class="fullpost"><br />Terdapat argumentasi yang menyatakan bahwa perbedaan berdasarkan jenis kelamin bukan lah suatu yang relevan bila dibahas melalui studi stratifikasi sosial (termasuk analisa kelas). Pendapat itu muncul karena ada pandangan bahwa perempuan tidak membentuk suatu “kolektivitas sosial yang terpadu”<sup>1</sup>. Perempuan tidak membentuk suatu tingkat sosial tertentu, tetapi terkonsentrasi di tingkat terendah dalam setiap kategori pekerjan, dan kurang terwakili dalam suatu posisi yang mengandung kekuasaan ekonomi dan politik.<br /><br />Pembagian kerja menurut jenis kelamin rupanya universal hampir sepanjang sejarah, dalam masyarakat dimana pembagian tersebut bersifat hirakis dimana laki-laki meletakan perempuan lebih rendah. Adanya segregasi/pemisahan pekerjaan menurut jenis kelamin adalah mekanisme utama dalam masyarakat kapitalis yang mempertahankan “superioritas/kedigdayaan” laki-laki diatas perempuan karena segregasi tersebutlah yang menyebabkan upah tenaga kerja perempuan menjadi lebih murah dalam pasar tenaga kerja<sup>2</sup>. Akibat sistem patriarki yang masih melihat bahwa laki-laki sebagai kepala keluarga sehingga buruh laki-laki berhak atas tunjangan anak dan isteri. Sedangkan perempuan yang bekerja, tidak mendapat tunjangan suami dan anak, padahal kenyataannya banyak dari buruh perempuan saat ini berperan sebagai kepala keluarga. <br /><br />Penggunaan tenaga kerja perempuan yang semakin besar sudah merupakan strategi penting bagi industri (perusahaan)untuk menurunkan biaya produksi. Dimana dengan kebijakan upah yang lebih murah menyebabkan posisi perempuan dibuat menjadi tergantung ke pada laki-laki.<sup>3</sup> <br /><br />Dengan berkembangnya industri rumah tangga, perempuan memperoleh peran yang berarti dalam produksi dengan memamfaatkan keterampilan tradisional, terutama dalam produksi tekstil tradisional, akan tetapi upah pekerja perempuan masih lebih rendah dibandingkan dengan upah yang diberikan kepada pekerja laki-laki. Seiring pertumbuhan dan meluasnya pabrik-pabrik, perempuan dipaksa harus menerima kondisi-kondisi kerja yang sangat berbahaya -- kondisi yang sejak lama telah ditentang oleh pekerja laki-laki. <br /><br />Hal itu disebabkan karena pekerja perempuan lebih “patuh dan permisif” dibandingkan pekerja laki-laki yang suka “membangkang”. Perempuan tidak saja menerima upah rendah, terkadang mereka juga acap mendapatkan pelecehan, dari atasan maupun dari pekerja laki-laki sendiri. Sehingga bisa dikatakan bahwa buruh perempuan menanggung beban ganda. Artinya: buruh perempuan tidak hanya melawan penindasan sang kapitalis semata, melainkan juga harus mengahadapi bentuk penindasan dari sistem patriaki.<br /><br />Secara sadar dalam relasi ekonomi politik, dengan mempekerjakan perempuan, para pengusaha mendapat keuntungan dari segi ongkos operasional karena upah yang mereka berikan lebih sedikit dibandingkan dengan mempekerjakan para pekerja laki-laki. Ditambah lagi secara politik, buruh perempuan yang belum mempunyai kesadaran berorganisasi lebih sedikit melakukan perlawanan sehingga lebih patuh dan mudah ditundukkan.<br /><br />Sejak awal pertumbuhan industri kapitalis, pekerja perempuan nampaknya kurang terorganisasi dengan baik secara kolektif dibandingkan dengan pekerja laki-laki. Dimana pekerja perempuan masih takut dan kurang mempunyai keberanian untuk bergabung dengan serikat buruh.<br /><br />Padahal perempuan juga diberikan kebebasan untuk bergabung di serikat buruh yang ada di perusahaannya. Berdasarkan Konvensi ILO No.8 tentang kebebasan Berserikat menyatakan bahwa kebebesan berserikat berlaku bagi semua buruh tak terkecuali, bahwa jaminan ini di berikan tanpa mengenal diskriminasi atas pekerjaan, jenis kelamin, warna kulit, ras, keyakinan, kewarganegaraan ataupun pandangan politik.<sup>4</sup> <br /><br />Sementara itu juga, dalam beberapa kasus perempuan mulai ,mundur atau keluar dari keanggotaan serikat buruh karena tidak tahan dengan berbagai bentuk intimidasi pihak perusahaan, mulai dari tindakan mutasi sampai dengan cara mengancam akan memberhentikan atau mem PHK kan mereka. <br /><br />Buruh perempuan dalam memperjuangkan hak – haknya contohnya saja hak pekerja perempuan untuk memperoleh cuti haid masih sering mengalami hambatan dan perlakuan – perlakuan yang tidak wajar bahkan berujung pada PHK sepihak.<sup>5</sup> Karena posisi mereka dibuat sangat lemah, selain harus bertarung dengan pihak pengusaha dan undang-undang perburuhan yang tidak berpihak pada buruh, juga harus menghadapi instansi pemerintah, aparat keamanan dan berbagai aparat desa yang masih didominasi oleh watak patriakis yang kuat.. <br /><br />Perempuan selalu dilekatkan dengan kepemilikan budaya perlawan yang lemah dibandingkan laki-kali dengan adanya hegemoni sejarah kekuasaan laki-laki. Dalam praktek keseharian represi dari pihak perusahaan dilakukan dengan cara memanggil satu persatu dan disuruh keluar dari keanggotaan serikat, kalau mereka tidak mau maka masa kontraknya diancam tidak akan akan diperpanjang lagi<br /><br /><span style="font-weight:bold;">Perjuangan Buruh Perempuan: Sebuah Ancaman? </span><br /> <br />Situasi di alam patriarkis seperti sekarang, membuat banyak pekerja laki-laki jauh lebih maju dalam memandang serikat buruh sehingga mereka bisa berorganisasi untuk mencapai tingkat kekuasaan tertentu dalam menghadapi para majikan -- apalagi diperkuat oleh kebiasaan kepemimpinan dalam keluarga, seperti juga hak-hak superior yang dimiliki laki-laki dalam ekspresi kenegaraan.<br /><br />Konflik horizontal pun kemudian dimunculkan antara buruh laki-laki dengan buruh perempuan, dalam keseharian kita bisa menemukan para pekerja laki-laki secara sadar ataupun tidak telah memandang angkatan kerja perempuan sebagai <span style="font-weight:bold;">ancaman</span> dalam pasar tenaga kerja. Realitas ini merupakan ciri khas dari sistem ekonomi kapitalis yang melanggengkan sistem sosial patriarkis. <br /><br />Pekerja perempuan yang dibayar lebih rendah adalah ancaman yang lebih buruk. Realitas di atas sering dipresentasikan dalam pandangan normatif masyarakat dengan meletakan perempuan dalam urusan sumur, dapur, dan kasur. Atau dengan perkataan lain, perempuan dikembalikan kepada pekerjaan domestik, sementara laki-laki mengerjakan pekerjaan di bidang publik. <br /><br />Pikiran bahwa buruh perempuan adalah ancaman -- dalam berbagai bentuknya, baik secara kultural hingga persaingan memperebutkan lapangan kerja – bila mau secara jujur kita periksa di lingkungan kita masih merajela sebagai kesadaran umum yang dibiarkan. Cara pandang yang sesungguhnya justru melecehkan segala analisa sosiologis dan historis yang telah membuktikan adanya sistem patriarkis yang dipelihara oleh sistem-sistem eksploitasi masyarakat hingga era kapitalisme sekarang ini.<br /><br /><span style="font-weight:bold;">Perjuangan Perempuan adalah Kewajiban Politik Rakyat Pekerja</span><br /><br />Pembagian kerja berdasar perbedaan jenis kelamin harus dipandang sebagai suatu yang tidak emansipatoris dan harus dilenyapkan bila kita percaya kaum perempuan berhak menyamakan status sosial dan mengembangkan potensi kemanusiaan secara total. Sejarah menunjukkan perjuangan emansipatoris itu adalah sesuatu yang mungkin dan punya banyak jejak dalam sejarah masyarakat kita.<br /><br />Perjuangan perempuan di Nusantara bukanlah sesuatu yang ahistoris. Ia tidak hanya diwakili oleh R.A Kartini dengan bias catatan sejarah kolonialisme dan pendangkalan makna oleh rejim Orde Baru. Rohana Kudus di Bukittinggi jauh di awal abad ke 20 juga sudah menggorganisir ibu-ibu pedang kaki lima dan industri sulaman dengan membuat koran perempuan pertama di Asia Tenggara dan membuat perkumpulan Amai Candung sebagai media kolektif perjuangan hak-hak perempuan. <br /><br />Pelanggengan domestifikasi sistem ekonomi politik kapitalisme terhadap perempuan harus diakhiri dengan gerakan perempuan yang terorganisir dengan sadar akan hak-hak dasar baik di dalam rumah, di tempat kerja, dan ruang publik lainnya. Perjuangan ini juga perlu dilakukan dengan bekerja sama dengan buruh laki-laki yang sudah mempunyai kesadaran gender yang lebih maju guna melawan sisitem patriaki yang masih mendominasi. <br /><br />Sistem patriaki yang menindas ini pun masih melekat pada organisasi yang mengaku paling progresif sekalipun. Oleh karena itu mari kita sama-sama memeriksa dalam organisasi kita, serikat buruh tempat kita bergabung, keluarga kita, lingkungan sekitar, bahkan sampai pada level negara, apakah sistem patriaki ini sudah hilang? Apabila masih belum hilang, maka mari kita sama-sama berhimpun dan melakukan perlawanan, tidak hanya terhadap sistem kapitalis, juga terhadap sistem patriaki yang menindas.<sup>6</sup> <br /><br /><span style="font-style:italic;">*Penulis adalah anggota PRP Komite Kota Tangerang</span><br /><br /><sup>1</sup> Anthony Giddens, Kelompok, Kekuasaan, dan Konflik, hal. 489, Rajawali Persada, 1981.<br /><sup>2</sup> ibid, hal. 505<br /><sup>3</sup> Ekonomi Pasar Sosial, FES, 2005<br /><sup>4</sup> ABC Hak-hak Serikat Buruh, TURC, 2005<br /><sup>5</sup> Sharing pengorganisiran dengan kawan-kawan aktifis perempuan KASBI Tangerang<br /><sup>6</sup> Sharing dengan kawan-kawan Pelaksana sekolah Demokrasi Kabupaten Tangerang<br /></span><div class="blogger-post-footer">http://my.yahoo.com, http://reader.google.com, http://360.yahoo.com</div>Perhimpunan Rakyat Pekerjahttp://www.blogger.com/profile/13408951774927289203noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1105056731449200458.post-34500981754943648052007-07-25T13:57:00.000+07:002007-07-25T14:10:11.733+07:00Penganiayaan masyarakat sipil oleh praja IPDN<center><span style="font-weight:bold;">PERNYATAAN SIKAP<br />PERHIMPUNAN RAKYAT PEKERJA (PRP)<br /></span></center><br /><center><span style="font-style:italic;">Usut Tuntas penganiayaan masyarakat sipil oleh praja IPDN!!!<br />Hentikan budaya kekerasan di IPDN!!!<br />Kekerasan praja IPDN merupakan cerminan aparat pemerintah!!!<br /></span></center><br /><br />Salam Rakyat Pekerja,<br /><br />Sudah sering kita mendengar di dalam IPDN praja-praja senior menyiksa praja-praja juniornya sebagai bentuk pembinaan dan penghormatan. Pembinaan dengan penyiksaan tersebut telah beberapa kali menyebabkan terbunuhnya beberapa praja muda dari berbagai daerah. Namun kasus penganiayaan yang menyebabkan seseorang terbunuh itupun sampai sekarang tidak dapat diungkap dengan tuntas. Ataupun tidak ada upaya kongkret dari pihak pejabat IPDN ataupun pemerintah yang terkait untuk memperbaiki manajemen pendidikan di IPDN.<br /><span class="fullpost"><br />Belum lama ini, kekerasan yang dilakukan oleh praja IPDN kembali memakan korban. Namun kali ini bukan sesama praja yang menjadi korban tindakan kekerasan tersebut. Kali ini masyarakat sipil yang tinggal di Jatinangor, daerah tempat beradanya IPDN, yang telah menjadi korban tindakan kekerasan IPDN. Wendi Budiman, korban tindakan kekerasan oleh beberapa praja IPDN tersebut telah meninggal.<br /><br />Hal ini jelas menguatkan mental-mental para calon pejabat tersebut yang senang menggunakan kekerasan untuk menunjukkan kekuasaannya. Ini juga jelas tergambar dalam fenomena kekerasan yang dilakukan oleh para anggota Satpol PP yang melakukan penggusuran di terhadap pemukiman-pemukiman masyarakat. Walaupun para praja ini nantinya tidak akan menjadi seorang anggota Satpol PP, namun mereka lah yang akan menjadi atasan ataupun pejabat di pemerintahan daerah. Merekalah nantinya yang akan memerintahkan Satpol PP tersebut untuk melakukan penggusuran dengan kekerasan. Inilah mental para calon pejabat di pemerintahan daerah dan pemerintahan pusat yang gemar menggunakan tindakan kekerasan untuk mencapai tujuannya ataupun menunjukkan kekuasaannya.<br /><br />Meninggalnya Wendi Budiman akibat tindakan kekerasan yang dilakukan oleh sekelompok praja IPDN juga menguatkan sangat berbahayanya bila tindakan kekerasan yang dilakukan oleh para praja IPDN tersebut dibiarkan. Bila kelak para praja IPDN tersebut memimpin di dalam pemerintahan daerah ataupun pemerintahan pusat, maka bukan hanya Wendi Budiman saja yang akan menjadi korbannya, namun kehidupan seluruh rakyat Indonesia akan terancam.<br /><br />Inilah suatu bentuk bagaimana memelihara kekuasaan dengan menggunakan kekerasan yang dahulu juga dipraktekkan oleh Orde Baru. Seharusnya tindakan kekerasan oleh praja IPDN tersebut tidak dapat kita tolerir lagi. IPDN, sebagai lembaga pendidikan calon pejabat pemerintahan tersebut ternyata juga tidak mampu untuk menciptakan pejabat-pejabat pemerintahan yang melindungi, mengayomi dan bersahabat dengan rakyat. Karena seharusnya para pejabat tersebutlah yang melayani rakyat Indonesia, bukannya malah menakuti rakyatnya sendiri.<br /><br />Maka dari itu kami dari Perhimpunan Rakyat Pekerja (PRP) menyatakan sikap:<br /><OL><br /><LI>Turut berduka cita dengan meninggalnya Wendi Budiman, warga Jatinangor, yang telah menjadi korban tindakan kekerasan para praja IPDN<br /><LI>Mengutuk tindakan kekerasan yang dilakukan oleh para praja IPDN kepada masyarakat sipil.<br /><LI>Pemerintah yang memiliki fungsi melayani dan melindungi rakyatnya dalam mencapai kesejahteraan telah gagal, karena tindakan kekerasan tersebut dilakukan oleh para calon pejabat negara. Dan ini bukan hanya merupakan tanggung jawab pribadi ataupun para pelakunya saja, namun pemerintah juga harus bertanggungjawab terhadap meninggalnya Wendi Budiman.<br /><LI>Kepolisian Negara Republik Indonesia harus segera mengusut dengan tuntas kasus penganiayaan masyarakat sipil oleh para praja IPDN, serta mengadili para pelakunya.<br /><LI>IPDN sebaagi sebuah lembaga pendidikan calon pejabat harus dibubarkan karena telah beberapa kali kasus tindakan kekerasan yang menyebabkan meninggalnya seseorang telah terjadi. Hal ini menunjukkan ketidakmampuan para pengelola IPDN untuk membina dan mendidik para calon pejabat tersebut dengan baik.<br /><LI>Kepada seluruh elemen pro demokrasi untuk segera membentuk persatuan multi sektor dan melakukan perlawanan terhadap segala bentuk penindasan terhadap rakyat Indonesia.<br /></OL><br /><br /><center>Jakarta, 25 Juli 2007</center><br /><center>Komite Pusat Perhimpunan Rakyat Pekerja</center><br /><br />Sekretaris Jenderal<br /><br /><br /><br /> Irwansyah<br /><br /><br /><br /></span><div class="blogger-post-footer">http://my.yahoo.com, http://reader.google.com, http://360.yahoo.com</div>Perhimpunan Rakyat Pekerjahttp://www.blogger.com/profile/13408951774927289203noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1105056731449200458.post-65019006238449905872007-07-25T13:07:00.000+07:002007-07-25T13:14:11.948+07:00Soldiaritas terhadap kasus penganiayaan masyarakat sipil oleh Praja IPDN<center><span style="font-weight:bold;">PERNYATAAN SIKAP BERSAMA KOMITE RAKYAT UNTUK KEMANUSIAAN (KORAK)<br />TERHADAP KASUS PENGANIAYAAN MASYARAKAT SIPIL OLEH PRAJA IPDN JATINANGOR</span></center><br /><br /><span style="font-style:italic;">Salam Pembebasan!</span><br /><br />SATU LAGI korban jatuh oleh tindak kekerasaan praja IPDN Jatinangor, kali ini korban berasal dari warga Jatinangor sendiri, alm. Wendi Budiman yang dianiaya hingga meninggal dunia. Kejadian ini semakin menguatkan bukti dan membenarkan kecaman kita kepada institusi kedinasan ini bahwa institusi ini merupakan warisan kental rezim Orba dengan kekhasan pendidikan fasis-militeristik-nya.<br /><span class="fullpost"><br />Dengan kejadian tsb, SEKALI LAGI IPDN juga sama sekali tidak memperlihatkan watak institusi pendidikan yang seharusnya memiliki kaitan dan tanggung jawab sosial terhadap lingkungan sekitarnya (masyarakat Jatinangor). Hari ini IPDN sebagai institusi tidak hanya berpotensi besar mengancam praja-prajanya sendiri, tapi juga kini telah menjadi ancaman bagi masyarakat Jatinangor, bahkan lebih jauh lagi ancaman bagi masyarakat sipil Indonesia! Sarat dengan kekerasan, serta mengabaikan posisinya sebagai pelaku pendidikan yang seharusnya berbakti pada masyarakat. Hal tersebut dapat dinilai sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan dan hak asasi yang dilindungi hukum internasional, juga konstitusi.<br /><br />Maka, terutama dengan kejadian terakhir yang menimpa alm. Wendi Budiman dan keluarga, kami Komite Rakyat untuk Kemanusiaan menyampaikan ucapan duka dan SEKALI LAGI menyatakan:<br /><OL><br /><LI>Mengutuk keras tindakan penganiayaan yang dilakukan oleh praja IPDN terhadap Wendi Budiman (21) warga dusun Ciawi RT 03 RW 04, Desa Cikeruh, Kecamatan Jatinangor.<br /><LI>Menuntut pengusutan tuntas kasus penganiayaan terhadap alm. Wendi Budiman, tangkap dan adili seluruh pelaku penganiyayaan.<br /><LI>Menuntut pembubaran IPDN sesegera mungkin karena telah merugikan masyarakat dan menghisap dana pendidikan yang dibayar oleh pajak rakyat.<br /><LI>Hentikan pemborosan anggaran negara untuk institusi pendidikan non-depdiknas, alokasikan untuk pendidikan murah untuk rakyat.<br /><LI>Dan menolak segala macam bentuk tindakan kekerasan aparatus dan ideologi.<br /></OL><br /><center><span style="font-style:italic;">Jatinangor, 24 Juli 2007</span></center><br /><center><span style="font-weight:bold;">Komite Rakyat untuk Kemanusiaan (KORAK):</span></center><br /><center>KMS, LMND, LPPMD, Masyarakat Jatinangor,<br />JPK: Apokalips, Asal Sada, Ikohi, Imparsial, KASBI Jabar, Kompak, Kontras,<br />PRP Komite Kota Bandung Raya, PBKM Jabar, Pusik Parahyangan, PPKMB, PPKGB,<br />Praxis, Rumah Kiri, UKSK UPI, Ultimus</center><br /><br /><br /><br /></span><div class="blogger-post-footer">http://my.yahoo.com, http://reader.google.com, http://360.yahoo.com</div>Perhimpunan Rakyat Pekerjahttp://www.blogger.com/profile/13408951774927289203noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1105056731449200458.post-25528871514898201892007-07-24T14:27:00.000+07:002007-07-24T14:36:26.138+07:00Haruskah Televisi Mematikan Anak-anak Kita Secara Perlahan<span style="font-style:italic;">Sapto Raharjanto*</span><br /><br />Beberapa hari ini di berbagai media massa, baik nasional maupun lokal, kerapkali ditemui berita mengenai aksi simpatik dalam rangka memperingati Hari Anak Nasional (HAN), ada sebuah hal yang menarik dari berbagai rangkaian aksi tersebut, terutama mengenai tema yang diusung, <span style="font-weight:bold;">kampanye untuk mematikan televisi selama satu hari pada tanggal 23 Juli 2007</span> yang bertepatan dengan peringatan Hari Anak Nasional, munculnya gagasan ini adalah semata-mata dilatar belakangi oleh banyaknya tayangan televisi yang dinilai tidak mendidik terhadap anak-anak yang merupakan calon-calon penerus bangsa yang akan menggantikan generasi tua untuk meneruskan tongkat estafet kepemimpinan bangsa. <br /><span class="fullpost"><br />Apabila kita ulas mengenai fenomena budaya pertelevisian kita akhir-akhir ini , maka pantaslah apabila banyak kalangan yang sudah mulai geram terhadap industri pertelevisian kita yang hanya bertorientasi pada rating dan banyaknya iklan yang ditayangkan didalam suatu program acara televisi yang ujung-ujungnya hal ini ialah kembali kepada orientasi profit oriented, tanpa ada sebuah tanggung jawab sosial dari dunia pertelevisian kita terhadap masa depan generasi penerus dengan tanpa memperhatikan berbagai efek dari sebuah penayangan program acara. Semisal banyaknya tayangan sinetron yang mengusung tema romantisme remaja yang celakanya banyak cerita sinetron tersebut yang menceritakan kisah percintaan Anak Baru Gede (ABG), yang masih berusia SMP, ataupun bahkan masih berusia SD,…waahhh,..bagaimana kita bisa membayangkan efek psikologis dari tayangan tersebut terhadap perkembangan anak-anak kita,…mereka pasti akan lebih malas belajar, serta lebih senang untuk meniru apa yang ada didalam tayangan sinetron tersebut untuk dipratekkan didalam keseharian mereka.<br /> <br />Di kalangan kaum ibu, yang merupakan salah satu penentu didalam keberhasilan proses pendidikan anak, juga ada banyak keprihatinan, karena pada jam-jam belajar (pukul 19.00-21.00) ibu-ibu kita lebih tertarik untuk menyaksikan tayangan-tayangan gossip artis, sinetron-sinetron, mulai yang bertemakan misteri yang dibungkus secara apik dalam nuansa religi, sampai yang bertemakan percintaan usia dini (ABG). Inilah efek yang sangat luar biasa dari dunia pertelevisian kita, yang mungkin takkan pernah terlintas didalam konstruksi pemikiran kita bagaimana berpengaruhnya telelevisi,…ya sebuah benda kotak kaku tetapi mempunyai dampak yang sangat besar terhadap perkembangan mental generasi penerus bangsa.<br /> <br />Di Negara kita sebenarnya sudah ada lembaga yang mengatur mengenai permasalahan ini yaitu KPI (Komisi Penyiaran Indonesia), yang bertugas untuk mengatur dan menyeleksi tayangan-tayangan televisi di Indonesia, tetapi bukannya bermaksud menjadikan KPI sebagai sebuah lembaga pencabut SIUPP layaknya masa Orde Baru, tetapi KPI harus kita fungsikan sebagai lembaga yang bisa menyaring kualitas dan mutu tayangan televisi, masih ingatkah kita kasus tayangan Smack Down beberapa waktu lalu??...(<span style="font-style:italic;">dalam hal ini harusnya KPI sudah mulai tanggap terhadap tayangan-tayangan yang kurang mendidik dan memiliki efek yang buruk terhadap perkembangan mental anak</span>). Hal ini semata-mata bertujuan untuk menyelamatkan generasi penerus bangsa dari cengkeraman budaya berorientasikan profit cirikhas kapitalisme yang sama sekali tak mau peduli dengan urusan mutu tayangan,…karena semakin bodoh suatu generasi, maka akan semakin mudah kapitalisme untuk menipu kita,..dan ketika KPI mengalami sebuah kemandulan didalam memberikan sanksi kepada stasiun-stasiun televisi yang banyak menayangkan tayangan-tayangan yang kurang bermutu tersebut, maka tugas kitalah untuk memberikan sanksi terhadap stasiun televisi tersebut dengan bersama-sama mematikan pesawat televisi kita, karena sekali lagi yang perlu kita catat ialah,<span style="font-style:italic;">…salah satu alat pembodohan yang efektif bagi kapitalisme ialah melalui sebuah benda kotak yang bernama televisi,…….So shutdown your television…….</span><br /><br /><span style="font-style:italic;">*Penulis adalah Peneliti di Centre of Local Economic and Politic Studies (CoLEPS) Jember</span><br /></span><div class="blogger-post-footer">http://my.yahoo.com, http://reader.google.com, http://360.yahoo.com</div>Perhimpunan Rakyat Pekerjahttp://www.blogger.com/profile/13408951774927289203noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1105056731449200458.post-13882093130529051702007-07-16T16:54:00.000+07:002007-07-16T16:59:28.365+07:00Demokratisasi Kampus Universitas Jember<center><span style="font-weight:bold;">PERNYATAAN SIKAP<br />PERHIMPUNAN RAKYAT PEKERJA (PRP)</span></center><br /><br /><center><span style="font-style:italic;">Tegakkan demokratisasi kampus!!!<br />Libatkan mahasiswa dalam pemilihan rektor!!!</span></center><br /><br /><br />Salam rakyat pekerja,<br /><br />Universitas sebagai sebuah pencetak calon-calon intelektual muda di Indonesia, seharusnya dapat menerapkan sebuah kultur demokrasi di dalam kampus. Namun hal ini tidak terjadi di Universitas Jember. Dalam pemilihan rektor Universitas Jember, ada upaya pembatasan bagi yang dapat menghadiri acara pemilihan rektor di kampus tersebut.<br /><span class="fullpost"><br />Mahasiswa yang ingin memasuki ruang pemilihan rektor, dihalang-halangin oleh petugas satuan pengamanan kampus. Pemilihan rektor tersebut hanya dapat dihadiri oleh anggota senat mahasiswa saja, dengan alasan pemilihan rektor tersebut sifatnya tertutup. Tetapi mahasiswa mencium adanya kecurangan dan politik uang dalam pemilihan rektor tersebut.<br /><br />Hal ini menjadi sangat aneh, karena kalau tidak ada yang ditutup-tutupi oleh pihak kampus, seharusnya pemilihan rektor tersebut dapat dihadiri oleh seluruh mahasiswa. Karena mahasiswa memiliki hak untuk dapat mengawasi dan bahkan memilih rektor yang dikehendaki. Tetapi kenyataannya sangat berbeda. Pemilihan rektor yang seharusnya terbuka, ternyata hanya diikuti oleh segelintir mahasiswa yang terlibat dalam senat mahasiswa.<br /><br />Isu kecurangan dan politik uang dalam pemilihan rektor tersebut dikhawatirkan akan berdampak pada jalannya operasionalisasi kampus sehari-hari di kemudian hari. Alam demokrasi seharusnya dapat dijaga dan dihidupkan di dalam kampus, sehingga setiap mahasiswa memiliki kesempatan dan hak yang sama dengan mahasiswa yang lainnya.<br /><br />Akibat ingin menyaksikan pemilihan rektor tersebut, mahasiswa pun terlibat bentrok dengan petugas satuan pengamanan kampus. Arogansi pihak kampus dengan merepresi kehidupan demokratisasi di dalam kampus merupakan sebuah perbuatan yang mencoba menghilangkan hak-hak mahasiswa di dalam kampus. Bahkan tindakan pemukulan yang dilakukan oleh satuan petugas pengamanan kampus merupakan bentuk-bentuk kekerasan di dalam kampus.<br /><br />Maka dari itu, kami dari Perhimpunan Rakyat Pekerja (PRP) menyatakan sikap:<br /><OL><br /><LI>Pihak kampus harus menjamin dan melindungi seluruh hak-hak mahasiswa dan mewujudkan demokratisasi di dalam kampus.<br /><LI>Pemilihan rektor harus dibuka kepada seluruh mahasiswa karena ini merupakan hak bagi mahasiswa untuk mengikuti jalannya pemilihan rektor di Universitas Jember.<br /><LI>Pejabat kampus harus bertanggungjawab terhadap tindakan kekerasan yang dilakukan oleh satuan petugas pengamanan Universitas Jember.<br /><LI>Hentikan segera praktek kecurangan dan politik uang dalam proses pemilihan rektor Universitas Jember.<br /><LI>Kepolisian harus mengusut tindakan kekerasan dan praktek politik uang yang dilakukan oleh pejabat kampus, karena hal tersebut merupakan tindakan kriminal dan penghancuran terhadap demokratisasi kampus.<br /><LI>Departemen Pendidikan Nasional harus mengusut praktek kecurangan dan politik uang yang dilakukan oleh pejabat kampus Universitas Jember.<br /><LI>Kepada seluruh elemen pro demokrasi untuk segera bersatu dan membentuk perlawanan pekerja multisektor agar dapat berjuang bersama-sama dalam menegakkan kesejahteraan rakyat pekerja.<br /></OL><br /><br /><center>Jakarta, 16 Juli 2007</center><br /><center>Komite Pusat Perhimpunan Rakyat Pekerja</center><br /><br /><br />Sekretaris Jenderal<br /><br /><br /><br /> Irwansyah<br /><br /><br /><br /></span><div class="blogger-post-footer">http://my.yahoo.com, http://reader.google.com, http://360.yahoo.com</div>Perhimpunan Rakyat Pekerjahttp://www.blogger.com/profile/13408951774927289203noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1105056731449200458.post-11974897660614613622007-07-13T17:26:00.000+07:002007-07-13T17:30:03.408+07:00Sekelumit Kisah menjadi buruh di Tangerang<span style="font-style:italic;">Kiswoyo (Pak Kumis)*</span><br /><br />Cerita menjadi buruh di Indonesia mungkin pada umumnya sama. Cerita tersebut merupakan dampak dari disahkannya UU NO 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Maraknya upaya perusahaan untuk melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), adalah merupakan sebuah upaya untuk mengganti status karyawannya yang awalnya karyawan atau buruh tetap menjadi buruh kontrak, harian lepas atau bahkan yang lebih tragis adalah dengan memberlakukan sistem borongan. Dengan menjadikan status buruhnya menjadi buruh kontrak, maka pengusaha akan meraup keuntungan yang berlimpah. Hal ini dikarenakan pengusaha tidak perlu untuk memberikan imbalan sesuai dengan buruh yang mempunyai status buruh tetap.<br /><span class="fullpost"><br />Ada beberapa contoh kerugian ketika status buruh itu adalah buruh kontrak, antara lain:<br /><OL><br /><LI>Buruh dengan status buruh tetap berhak atas UMP/UMK sedangkan buruh kontrak upahnya masih di bawah UMP/UMP. Upah buruh kontrak dihitung per hari yang jumlahnya sebesar Rp 16.000,-<br /><LI>Buruh dengan status sebagai buruh tetap berhak atas cuti sakit untuk ke dokter, sedangkan buruh kontrak bila sakit dan tidak masuk kerja maka buruh tersebut tidak mendapatkan upah. Belum lagi, karena buruh tersebut tidak masuk kerja, maka buruh tersebut kemungkinan besar akan terancam nasibnya karena akan diputus kontrak kerjanya.<br /><LI>Buruh dengan status sebagai buruh tetap berhak atas cuti tahunan, cuti haid dan melahirkan serta cuti-cuti lainnya sesuai dengan UU Ketenagakerjaan. Sedangkan hak istimewa tersebut, bagi buruh kontrak tidak akan mungkin didapat. Bila buruh kontrak hendak menanyakan tentang haknya atau bahkan hendak mengajukan cuti, maka kemungkin ancamannya adalah PHK.<br /><LI>Selain itu, bila buruh kontrak berencana untuk membentuk atau ikut bergabung dengan organisasi buruh yang independen, maka pastinya pengusaha tidak segan-segan untuk mem-PHK dengan berbagai cara, termasuk dengan memanfaatkan bantuan para preman, militer, polisi atau bahkan Dinas Tenaga Kerja yang selama ini menjadi tempat berlindungnya para pengusaha.<br /></OL><br />Maka lengkaplah penderitaan kaum buruh yang harus berjuang sendirian melawan kedholiman dari berbagai pihak. Belum lagi buruh tersebut harus berjuang bagaimana menghidupi dirinya dan keluarganya. Rasa kepedulian pada sesama buruh harus mulai dibangun sejak saat ini. Karena saya merasakan masih banyak buruh-buruh di Indonesia yang masih tidak peduli dengan apa yang terjadi pada diri mereka. Bahkan mereka sendiri tidak mengetahui apa sebenarnya yang mereka hadapi. Mereka hanya mementingkan diri mereka sendiri, dan tidak sadar akan penjajahan yang telah terjadi pada kaum buruh pada umumnya.<br /><br />Kesadaran untuk berorganisasi menjadi penting bagi kaum buruh. Dan kaum buruh, harus pintar untuk melihat mana organisasi yang benar-benar peduli dengan nasib buruh dan mana yang tidak. Karena banyak organisasi yang hanya merupakan formalitas dan tidak pernah mementingkan kepentingan buruh yang merupakan anggota dari organisasi buruh tersebut.<br /><br />Untuk itu saya akan menceritakan sedikit pengalaman saya. Pengalaman-pengalaman di atas, yang saya tahu, benar-benar terjadi di Banten atau tepatnya di kota dan kabupaten Tangerang. Beberapa waktu yang lalu saya pernah bekerja di salah satu pabrik di Kabupaten Tangerang, tepatnya di PT Sarasa Nugraha. PT Sarasa Nugraha beralamat di Jalan Raya Serang KM 24,5, Desa Pasir jaya, Kecamatan Balaraja, Kabupaten Tangerang, Provinsi Banten.<br /><br />Saya bekerja di pabrik tersebut awalnya pada tanggal 17 Juli 1994. Pada saat saya awal bekerja di pabrik tersebut, saya merasakan bahwa ada beberapa situasi dan kondisi kerja yang tidak nyaman. Ditambah lagi pengaturan kerja yang sangat semrawut. Akibatnya ada beberapa orang yang memiliki potensi dan keahlian di bagian tertentu tidak ditempatkan sesuai dengan keahliannya. Hal ini dikarenakan orang-orang tersebut harus mengcover atau menggantikan kerja-kerja para pengurus organisasi buruh yang memang oleh perusahaan tidak diberikan tugas yang jelas. Para pengurus organisasi buruh ini sangat dekat dengan perusahaan, sehingga mereka diberikan keistimewaan dibandingkan dengan buruh-buruh yang lainnya. Kebetulan organisasi buruh yang ada di perusahaan saya tersebut hanya Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI). Saya melihat setiap hari aktivitas atau kerja-kerja para pengurus organisasi ini hanya datang dan mengobrol di ruang personalia, ruang HRD atau kalau tidak, pasti berada di ruangan Manager Produksi.<br /><br />Dari hari ke hari hingga berganti bulan bahkan berganti tahun kondisi kerja seperti itu terus terjadi. Saya sendiri tidak tahu pasti apakah kondisi kerja seperti itu akan berdampak buruk bagi perusahaan atau tidak. Tetapi yang pasti, saya mendengar banyak sekali keluhan-keluhan dari para buruh yang berkaitan dengan upah mereka. Hal ini dipicu karena buruh yang telah bekerja selama puluhan tahun, ternyata mendapatkan upah sama besarnya dengan buruh baru masuk kerja. Kemudian keluhan dari buruh selanjutnya adalah soal K3, kemudian hak untuk cuti yang seharusnya dapat diambil oleh buruh ternyata dipersulit oleh perusahaan. Kemudian ada lagi bagaimana sulitnya buruh yang sakit tetapi tetap harus dipaksa bekerja oleh perusahaan, dan tidak diperbolehkan beristirahat, serta hanya boleh berobat di Puskesmas.<br /><br />Sedangkan bagi buruh yang sakit parah dan seharusnya mendapatkan penanganan proses untuk mengurus surat rekomendasi agar mendapatkan rujukan ke rumah sakit, maka prosesnya sangat berbelit-belit dan sulit. Kalaupun buruh tersebut sudah mendapatkan surat rujukan, maka paling buruh tersebut hanya dirawat di RSUD. Dan kalau dirawat inap, maka diharuskan buruh tersebut dirawat di kelas III. Itupun penggantian biaya pengobatan oleh perusahaan hanya diberikan sebesar 50% saja dari seluruh biaya pengobatan. Sedangkan untuk keluarga buruh itu sendiri, sama sekali tidak mendapatkan penggantian biaya pengobatan dari perusahaan.<br /><br />Kondisi kerja seperti di atas tidak pernah ditanggapi oleh para pengurus organisasi buruh. Akhirnya kemudian kondisi tersebut menimbulkan kekecewaan terhadap para pengurus organisasi buruh yang ada. Terjadilah krisis kepercayaan terhadap organisasi buruh di tempat bekerja saya, khususnya kepada SPSI. Pemogokan buruh dengan tuntutan untuk mengganti organisasi buruh di sana pun terjadi. Pemogokan itu kemudian berujung pada penggantian organisasi buruh, dari SPSI menjadi SPTP. Seluruh kepengurusan organisasi buruh kemudian dirubah. <br /><br />Sejak pergantian tersebut, banyak perubahan-perubahan yang terjadi di tempat saya bekerja. Keberhasilan-keberhasilan tersebut antara lain: Tunjangan Masa Kerja (TMK), uang makan, seragam, pengobatan yang akhirnya juga bisa menanggung keluarga dan tidak terpaku di Puskesmas atau RSUD saja, serta masih banyak lagi keberhasilan yang bersinggungan dengan kesejahteraan buruh.<br /><br />Mungkin ini saja dulu yang dapat saya ceritakan untuk saat ini. Nanti akan saya ceritakan tentang kronologi kerja-kerja kawan-kawan yang menjadi pahlawan dalam melakukan perubahan, dan apa saja kendala-kendala yang dihadapi. <br /><br />Salam Perjuangan<br /><br /><span style="font-style:italic;">*Anggota SPTP dan anggota PRP Komite Kota Tangerang</span><br /></span><div class="blogger-post-footer">http://my.yahoo.com, http://reader.google.com, http://360.yahoo.com</div>Perhimpunan Rakyat Pekerjahttp://www.blogger.com/profile/13408951774927289203noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1105056731449200458.post-18980618774562621742007-07-13T16:27:00.000+07:002007-07-13T16:43:41.010+07:00Solidaritas terhadap perjuangan buruh PT Eka Swastya<center><span style="font-weight:bold;">PERNYATAAN SIKAP<br />PERHIMPUNAN RAKYAT PEKERJA (PRP)</span></center><br /><br /><center><span style="font-style:italic;">Disnaker Kabupaten Tangerang harus melindungi kepentingan buruh!!!<br />Hentikan tindakan brutal kepolisian terhadap buruh!!!<br />Bebaskan buruh yang ditangkap oleh kepolisian!!!<br /></span></center><br /><br />Salam rakyat pekerja,<br /><br />Tindakan brutal aparat negara terhadap buruh kembali terjadi di negeri ini. Buruh-buruh PT Eka Swastya yang menuntut hak-hak mereka harus menerima perlakuan semena-mena dari aparat kepolisian dan Disnaker Kabupaten Tangerang. Hal ini terjadi pada tanggal 12 Juli 2007, ketika buruh-buruh yang menginap di Disnaker Kabupaten Tangerang diangkut paksa oleh kepolisian resort Tangerang dibantu oleh Disnaker Kabupaten Tangerang.<br /><span class="fullpost"><br />Buruh-buruh PT Eka Swastya telah menginap di Disnaker Kabupaten Tangerang sejak tanggal 14 Juni 2007. Mereka menginap di Disnaker Kabupaten Tangerang karena ingin mengadukan nasibnya yang diperlakukan tidak adil oleh pihak PT Eka Swastya. Namun sejak tanggal 14 Juni, tuntutan buruh PT Eka Swastya tidak pernah diperhatikan oleh pihak Disnaker Kabupaten Tangerang, sehingga mereka memutuskan untuk menginap di sana.<br /><br />Hal ini jelas menunjukkan ketidakpedulian Disnaker kabupaten Tangerang terhadap buruh di wilayah mereka. Disnaker yang seharusnya melindungi nasib buruh, ternyata hanyalah isapan jempol. Upaya untuk melindungi buruh-buruh yang merasakan ketidakadilan tidak pernah ditunjukkan oleh pihak Disnaker Kabupaten Tangerang.<br /><br />Pada tanggal 12 Juli 2007, buruh PT Eka Swastya mencoba untuk mengadukan nasibnya ke DPRD kabupaten Tangerang dan sebagian lagi aksi ke Jakarta. Sementara hanya 6 orang saja yang tinggal di Disnaker Kabupaten Tangerang. Melihat kekuatan buruh yang tinggal di Disnaker kabupaten Tangerang hanya sedikit, kemudian moment ini dimanfaatkan oleh pihak kepolisian resort Tangerang dan Disnaker. Mereka kemudian menangkapi para buruh yang tertinggal di Disnaker Kabupaten Tangerang.<br /><br />Upaya evakuasi para buruh yang menginap di Disnaker Kabupaten Tangerang oleh pihak kepolisian sebenarnya telah lama direncanakan oleh pihak kepolisian. Namun karena kekuatan buruh sangat besar maka hal tersebut ditunda sampai kekuatan buruh semakin mengecil.<br /><br />Penangkapan secara paksa 6 orang buruh tersebut jelas-jelas menunjukkan keberpihakan aparat negara terhadap pengusaha. Disnaker Kabupaten Tangerang yang jelas-jelas seharusnya melindungi kaum buruh, ternyata juga memusuhi buruh dan berpihak kepada para pengusaha. 6 orang buruh tersebut saat ini berada di Kepolisian Resort Tangerang dan sedang diurus BAP nya.<br /><br />Melihat kejadian di atas, maka kami dari Perhimpunan Rakyat Pekerja (PRP) menyatakan sikap:<br /><OL><br /><LI>Bebaskan buruh-buruh PT Swastya yang ditangkap oleh kepolisian resort Tangerang. Karena jelas buruh-buruh tersebut hanya mencoba untuk memperjuangkan nasibnya dan mengadukan ketidakadilan yang dilakukan oleh PT Eka Swastya.<br /><LI>Manajemen PT Eka Swastya harus ditangkap dan diadili oleh kepolisian karena telah menyengsarakan kehidupan buruh-buruhnya.<br /><LI>Kepolisian Resort Tangerang harus segera menangkap pemilik PT Eka Swastya dan segera membebaskan buruh-buruh yang telah ditangkap. Karena kepolisian harus bersikap adil dan tidak berpihak kepada pengusaha.<br /><LI>Disnaker Kabupaten Tangerang harus melindungi nasib para buruh yang tertindas dan tidak berpihak kepada pengusaha. Karena Disnaker Kabupaten Tangerang merupakan benteng perlindungan bagi kaum buruh di wilayah Tangerang.<br /><LI>Pemerintah harus memeriksa dan mengadili Kepala Kepolisian Resort Tangerang dan Kepala Disnaker Kabupaten Tangerang karena telah membantu menyengsarakan kehidupan kaum buruh di wilayah Tangerang.<br /><LI>Kepada elemen gerakan pro demokrasi untuk segera menyatakan dukungannya terhadap perjuangan buruh PT Eka Swastya. <br /></OL><br /><br /><center>Jakarta, 13 Juli 2007</center><br /><center>Komite Pusat Perhimpunan Rakyat Pekerja</center><br /><br /><br />Sekretaris Jenderal <br /><br /><br /><br /> Irwansyah<br /></span><div class="blogger-post-footer">http://my.yahoo.com, http://reader.google.com, http://360.yahoo.com</div>Perhimpunan Rakyat Pekerjahttp://www.blogger.com/profile/13408951774927289203noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1105056731449200458.post-43418050823967545742007-07-02T12:41:00.000+07:002007-07-02T12:52:42.739+07:00Satpol PP, Militerisme dan Posisi Kelas Kaum Miskin Perkotaan<span style="font-style:italic;">Ken Budha Kusumandaru*</span><br /><br /><span style="font-weight:bold;">Prolog</span><br /><br />Satu malam, seperti biasa, motor GL100 tua yang aku pakai mogok karena kepanasan. Kali itu, si jago mogok berhenti tepat di depan sebuah warung jamu di ujung jalan Tambak, Manggarai. Dasar, pikirku, tapi kebetulan - aku bisa minta mampir mendinginkan mesin. Pemilik kios jamu itu adalah seorang bapak setengah baya, barangkali limapuluhan usianya, seorang Betawi asli (sekalipun Betawi itu sendiri merupakan peleburan beberapa bangsa) yang leluhurnya juga lahir dan wafat di daerah itu.<br /><span class="fullpost"><br />Kami pun bercakap-cakap. Setelah bicara ke sana ke mari tentang keluarga beliau, kami sampai juga ke topik favoritku (pasti dong! :D). Kami mulai bicara tentang Pilkada, satu topik yang menarik sebenarnya kalau mau didiskusikan lebih lanjut. Kawan-kawan yang berdebat soal Pilkada seharusnya turun mencari sample semacam ini, mengadakan wawancara informal secara tersebar untuk meraba langsung pandangan masyarakat Jakarta, terutama warga Betawi, terhadap event politik ini. Tapi, sudahlah, bukan itu yang ingin aku bicarakan. Yang lebih menarik bagiku adalah pandangan beliau tentang banyaknya geng preman yang mengatasnamakan Betawi dan Satpol PP.<br /><br />Yang paling menarik bagiku dari percakapan itu adalah kegeraman yang ditunjukkan bapak penjual jamu itu pada kedua hal yang disebut di atas. Bagi beliau, geng-geng preman itu sama sekali tidak "berwatak Betawi" dan memalukan bagi warga Betawi asli karena sebagian besar anggota geng itu bukan orang Betawi. Bagi beliau, entah benar entah tidak, budaya Betawi menjunjung tinggi kegagahan (ini mengutip kho ping hoo, kelihatannya) dan hanya mau berkelahi jika membela kebenaran, itupun harus satu lawan satu. Geng-geng "Betawi" ini tidak lebih dari sekumpulan tukang pukul yang patuh pada juragan-juragan, bukan jagoan betulan. Barangkali, yang ada dalam pikiran bapak itu, yang patut disebut "jagoan" itu semacam si Pitung itulah.<br /> <br />Kalau pada geng "Betawi", si bapak menunjukkan kegeraman, pada Satpol PP ia menunjukkan kesedihan. Ternyata, di masa mudanya, sekitar tahun 1980-an awal, ia sempat bekerja di bagian Kamtibmas, di Pemda DKI Jakarta. Ia bercerita bagaimana dia selalu membocorkan rencana penggusuran pada para "calon korban". Dibujuknya para "gepeng" (begitu istilahnya dulu untuk para tunawisma dan penghuni rumah gubug) untuk membongkar dulu rumah mereka. Nanti, setelah musim gusuran lewat, mereka bisa membangun kembali tempat mereka. Yang penting, menurutnya, bahan bangunan selamat, karena kayu dan kardus itu merupakan harta-benda tak ternilai bagi para penghuni rumah gubug ini. Satpol PP yang sekarang begitu telengas. Tidak kenal perikemanusiaan. Raja Tega. Padahal, sebagian besar anggota Satpol PP sekarang ini adalah pemuda-pemuda miskin juga. Barangkali di antara sanak-keluarga mereka ada yang menjadi pedagang kaki-lima atau penghuni gubug. Terlebih lagi, status kerja anggota Satpol PP sekarang adalah kontrak, beda dengan Kamtib di jaman dulu yang berstatus pegawai negeri. Jika kontrak habis, mau kerja apa para mantan Satpol PP ini? Paling-paling juga buka lapak. Bagi bapak itu, benar-benar tidak masuk akal bahwa ada orang yang bersedia melakukan kekejaman macam itu hanya demi makan hari ini. Mungkin bapak itu tidak bisa mengerti bahwa watak yang biasanya ditunjukkan para kriminal kelas teri ini bisa-bisanya ditunjukkan juga oleh aparat berseragam.<br /><br /><span style="font-weight:bold;">Militerisme dan kelas pekerja</span><br /><br />Kita sendiri biasanya beranggapan bahwa militer merupakan alat negara penindas - bahkan "negara" itu sendiri, dalam pengertian bahwa "Negara adalah alat yang dipakai kelas berkuasa untuk merepresi kemungkinan munculnya konflik dan perlawanan kelas-kelas tertindas." Namun, sesungguhnya hubungan antara Militer dan Kelas Tertindas (dalam hal ini kelas-kelas pekerja) tidaklah selinear atau sedikotomis yang dibayangkan. Ingatlah hukum dialektika, bahwa apa yang berlawanan sesungguhnya satu dan saling menyaratkan.<br /> <br />Historyworld.net, satu situs sejarah yang cukup berwibawa, memiliki banyak artikel yang menerangkan mengenai perkembangan militer menjadi seperti yang kita lihat saat ini.Dan salah satu kenyataan pahit yang disajikan sejarah pada kita adalah bahwa tulang punggung setiap ketentaraan yang kuat adalah kelas pekerja.<br /><br />Sejak awal terbentuknya ketentaraan, kelas pekerja selalu hadir di garis terdepan tiap medan pertempuran. Merekalah yang gugur dalam jumlah paling besar di setiap kesempatan benturan antar pasukan. Merekalah yang dikenal sebagai "tentara jalan kaki" (foot soldier), "umpan peluru" (cannon fodder), "kuda beban" (grunts), atau istilah-istilah lain yang pada dasarnya merendahkan derajat mereka yang harus berkorban paling dahulu dan paling besar dalam tiap pertempuran ini.<br /> <br />Sejak pertama kali masyarakat berkelas menampakkan batang hidungnya di muka bumi, rakyat pekerja telah dikerahkan untuk membela kepentingan kelas berkuasa. Memang, sejak masyarakat terbelah menjadi kelas-kelas yang saling bertarung, ketentaraan tidak lagi merupakan pekerjaan sampingan melainkan pekerjaan purna-waktu. Tentara purna-waktu (standing army) inilah yang justru menjadi ciri masyarakat berkelas. Tapi, sekalipun tugas utama tentara ini adalah menindas rakyatnya sendiri, anggota-anggotanya direkrut dari kalangan kelas pekerja. Setelah direkrut, mereka ditempatkan dalam pengawasan ketat dan arahan dari para perwira yang secara eksklusif direkrut dari kalangan kelas berkuasa.<br /> <br />Selain itu, seperti yang terjadi di kerajaan Mesopotamia (yang diteruskan oleh Babilonia), kelas pekerja dikerahkan untuk melancarkan invasi dan penjarahan budak ke desa-desa atau negeri orang. Jika diperlukan, kelas pekerja akan diperintahkan untuk meninggalkan pekerjaannya dan memanggul senjata, membela kepentingan kelas berkuasa. Jadi, untuk menambah wilayah kekuasaan (dan otomatis menambah jumlah kelas pekerja yang dikuasainya), kelas berkuasa sejak dulu telah menggunakan tenaga kelas pekerja di negerinya sendiri.<br /><br />Semakin lama semakin nampak pembelahan antara para "foot soldier" dengan para perwira ini. Di kerajaan Mesir Kuno, misalnya, para perwira dan bangsawan maju perang dengan menunggang kereta perang (chariot), sementara tentara biasa tetap berjalan kaki. Dengan kereta perang, posisi para perwira ini menjadi lebih aman dan dapat melakukan pembantaian tentara musuh secara lebih leluasa. Perhatikan bahwa "tentara musuh" yang dibantai ini adalah yang berasal dari kelas pekerja di negeri "musuh" itu. Jarang sekali antar perwira ini bertemu dan beradu nyawa.<br /> <br />Pembelahan ini semakin tajam dengan semakin jauhnya perbedaan kemampuan ekonomi antara kelas berkuasa dan kelas pekerja. Di abad pertengahan, misalnya, perbedaan antara para ksatria dan para prajurit biasa sangat menyolok, terutama karena biaya yang perlu dikeluarkan untuk peralatan perang seorang ksatria tidak akan pernah dapat dibayar seorang prajurit biasa, yang berasal dari kelas pekerja. Kuda perang dan baju zirah dari baja terlalu mahal untuk dibeli, belum lagi mengingat biaya perawatannya.<br /><br />Curangnya, ketika kondisi ini berbalik dengan ditemukannya crossbow (panah yang dilepaskan dengan menggunakan pegas), halberd (tombak panjang dengan kait dan kapak kecil di bawah mata tombak) dan senjata api, para perwira ini langsung mengambil langkah seribu. Kalau dulu mereka berada paling depan, nampak gagah dan jaya karena terlindung peralatan perangnya, kini mereka lebih suka "memimpin dari belakang" (lead from behind - satu ungkapan yang absurd). <br /><br />Sekarang ini justru makin terang-terangan "tentara jalan kaki" ini dijadikan umpan peluru. Para prajurit, yang barangkali berasal dari keluarga buruh, dipaksa saling tembak dengan sesama prajurit yang juga berasal dari kelas pekerja. Sementara para perwira berperang dengan aman di garis belakang. <br /><br />Kisah tentang Jenderal McArthur bisa menjadi contoh yang luar biasa. Komandan Pasukan AS di Filipina ini membiarkan belasan ribu prajuritnya dalam keadaan kelaparan dan kekurangan amunisi di Bataan dan Corregidor, kabur ke Australia ketika Jepang menyerbu Filipina. Sejarah resmi AS membenarkan tindakan McArthur ini dengan alasan ini adalah perintah Komando Tertinggi dan bahwa McArthur sebenarnya enggan pergi kalau tidak dipaksa. Sejarah alternatif (seperti yang dimuat dalam situs "JAPAN ATTACKS THE PHILIPPINES, 1941- 42" <a href="http://www.users.bigpond.com/pacificwar/gatheringstorm/Philippines/Philindex.html">http://www.users.bigpond.com/pacificwar/gatheringstorm/Philippines/Philindex.html</a>) membeberkan fakta bahwa McArthur bukan saja melalaikan persiapan pertahanan Filipina, tapi juga sempat-sempatnya membeli saham Lepanto Mining Company yang harganya jatuh menjelang penyerbuan Jepang. Saham inilah yang membuat McArthur menjadi milioner seusai perang. Di samping itu, McArthur masih sempat memaksa Presiden Filipina waktu itu, Manuel Quezon, untuk memberinya Piagam Penghargaan sebagai Pahlawan Filipina, penghargaan yang disertai uang hadiah sebesar USD 500ribu (bernilai sekitar USD 5juta sekarang).<br /><br />Kelas berkuasa tetaplah kelas berkuasa, mereka akan merebut seluruh kemuliaan ketika pertempuran dimenangkan tapi mereka tidak akan berkedip sedikit juga ketika mengorbankan prajuritnya untuk mendapat kemenangan itu. Mengapa mereka harus berkedip? Bukankah kita tahu bahwa para umpan peluru ini diambil dari kelas pekerja?<br /><br /><span style="font-weight:bold;">Ketika seseorang berkhianat pada kelasnya sendiri</span><br /><br />Di lain pihak, banyak anggota kelas pekerja yang melihat karir kemiliteran sebagai peluang untuk keluar dari kesengsaraan dan himpitan penderitaan hidup yang selama ini dialaminya. Sekalipun ia tidak menyadarinya, secara naluriah ia tahu bahwa dengan demikian ia telah menyeberang. Ia telah menjadi pengkhianat bagi kelasnya sendiri. Dan seorang pengkhianat cenderung akan berusaha membuktikan dirinya di hadapan majikan barunya secara berlebihan. Ia akan menjadi lebih kejam dan jahat daripada jika anggota kelas berkuasa itu sendiri yang menjalankan penindasannya. Beberapa artikel penelitian tentang Psikologi Kekuasaan (bisa dicari di Google dengan kata kunci "psychology of power") menunjukkan bahwa orang-orang yang memegang kekuasaan cenderung bersikap tidak sewajarnya karena ia tahu tidak akan mendapat akibat buruk dari tindak-tanduknya. Bisa dibayangkan bahwa mereka yang tadinya merayap-rayap di lumpur kehinaan dan penindasan kini bisa petantang-petenteng berkuasa, tentu mereka mabuk berat!<br /><br />Salah satu ciri hegemoni adalah jika anggota-anggota kelas yang dikuasai beraspirasi atau bercita-cita menjadi bagian dari kelas berkuasa, atau menganggap apa yang dilakukan kelas berkuasa sebagai teladan mereka. Tidak mengherankan jika banyak anggota kelas pekerja di Jogjakarta (bahkan sampai hari ini) yang bangga dan bahagia ketika diangkat menjadi pelayan atau abdi dalem keraton. Kita juga mendengar berbagai kisah nina-bobo yang menggambarkan betapa bahagianya seorang rakyat jelata ketika dinikahi oleh keluarga raja, atau seorang petani miskin yang menjadi pelayan seorang ksatria kemudian berkesempatan membuktikan dirinya layak menjadi ksatria. Contoh modern dari kisah-kisah semacam ini barangkali adalah seorang anak petani dari dusun, yang mendapat kesempatan berkuliah di kota besar lewat jalur PMDK (sekarang masih ada gak sih?), lalu belajar sekeras mungkin untuk kelak bisa bekerja di sebuah kantor mentereng, kalau bisa perusahaan luar negeri. Ia sama sekali tidak berpikir bagaimana bisa kembali ke desa membangun desanya. Aku bertemu banyak sekali contoh seperti ini ketika kuliah di IPB.<br /><br />Dari tinjauan empirik (dari pengamatan saja; ada yang bisa kasih tinjauan akademiknya?), ada beberapa posisi yang rentan menjerumuskan orang dalam pengkhianatan terhadap kepentingan kelasnya sendiri:<br /><OL><br /><LI>Ketika seseorang berada dalam posisi kepemimpinan yang tidak demokratis atas komunitas. Kepemimpinan yang tidak didasarkan pada struktur demokratik bisa terjadi dalam kumpulan formal ataupun informal. Hal ini tidak harus didahului dengan satu niat buruk, misalnya ambisi pribadi ingin kaya, dsb. Bisa jadi, awalnya adalah niat baik untuk membangun komunitas. Tapi, karena struktur organisasinya tidak menjamin adanya regenerasi yang terus-menerus, komunitas pelan-pelan menjadi tergantung. Si pemimpin tersebut makin lama makin jago (karena terus mengasah kemampuannya), jarak antara tingkat kemampuan pribadinya dengan tingkat kemampuan orang lain dalam komunitas itu menjadi jauh sekali, bahkan mungkin tidak terkejar lagi. Si pemimpin ini rentan berkhianat karena para penguasa borjuasi tahu betul bahwa ia adalah sasaran tunggal. Penguasa borjuasi dapat memilih untuk mengguyur si pemimpin ini dengan harta melimpah (atau apa saja yang diinginkannya) atau melenyapkannya sekalian (jika sogokan tidak mempan). Begitu si pemimpin terbeli (atau terbunuh, mana saja yang datang duluan) organisasi pun akan terjinakkan.<br /><br /><LI>Ketika seseorang tidak memiliki pijakan kelas. Ketika seorang buruh di-PHK tanpa kejelasan masa depan, ketika seorang petani kehilangan tanah tanpa tahu ke mana harus meneruskan hidup, ketika seorang pelajar lulus tanpa kemungkinan melanjutkan pendidikan atau masuk dunia kerja, mereka terlempar ke dalam sebuah limbo - keadaan tanpa pijakan, tanpa kepastian. Dan, lembaga yang paling menyediakan kepastian - baik dari segi penghasilan, kekuasaan, disiplin dan komando - adalah lembaga yang dekat dengan militerisme. Tidak begitu mengherankan, (hampir) tidak akan ada anggota kelas pekerja yang dengan sukarela bergabung dalam organisasi preman, atau SatpolPP sekalipun, jika mereka bukan pengangguran.<br /></OL><br /><span style="font-weight:bold;">Pengangguran dan Masalah Kemiskinan Perkotaan</span><br /><br />Kedua kondisi yang kupaparkan di atas, sialnya, hadir bersamaan di tengah komunitas-komunitas miskin perkotaan. Komunitas miskin perkotaan ini terbentuk sebagai akibat dari pembangunan kapitalisme yang menggunakan pola akumulasi modal primitif (primitive accumulation of capital). Pola ini diterapkan pada masa-masa awal pembangunan kapitalisme di Eropa, dan kini diterapkan kembali untuk pembangunan kapitalisme di negeri-negeri kapitalis terbelakang yang menjadi sasaran penghisapan negeri imperialis di Dunia Pertama. Pola akumulasi primitif ini pada dasarnya berusaha menceraikan para produsen dari alat kerja dan hasil produksinya. Dengan kata lain, penghancuran pola produksi sisa peradaban Berburu-Mengumpul (misalnya nelayan tradisional) dan Feudal (misalnya pertanian). Tujuan utama dari pola akumulasi primitif ini adalah penciptaan lapisan masyarakat yang tidak lagi memiliki alat untuk bertahan hidup dan harus bergantung pada kapitalisme agar bisa bertahan. Di mana-mana, di seluruh negeri yang baru belakangan diserap ke dalam kapitalisme (yang biasa disebut Dunia Ketiga) kita lihat terjadinya akumulasi primitif ini.<br /><br />Kita melihat brutalitas kapitalisme primitif ini di depan mata kita, dalam sejarah kontemporer Indonesia. Brutalisme ini terjadi bukan saja dalam perampasan tanah di pedesaan, tapi juga dalam pengabaian pedesaan dalam pembangunan fasilitas penunjang kehidupan. Semua "pembangunan" yang dilakukan Orde Baru, dilakukan di perkotaan. Para petani yang telah kehilangan tanah terpaksa pindah ke kota-kota besar karena tidak ada sarana penunjang kehidupan di pedesaan. Sekalipun tidak langsung, inipun salah satu bentuk kekerasan yang luar biasa, yang memaksa orang untuk pergi atau mati kelaparan.<br /> <br />Tapi, mereka tidak punya bekal yang cukup untuk mencari penghidupan di perkotaan. Sama seperti yang dialami petani-petani Inggris di abad ke-16, para petani Indonesia yang kehilangan tanah ini juga terdampar di kota-kota besar tanpa pegangan. Tapi, petani Inggris di abad ke-16 berhadapan dengan kapitalisme yang baru bangkit, yang baru saja merealisasikan potensinya sebagai sebuah sistem ekonomi-politik. Sekalipun dengan brutal para petani ini diubah menjadi proletariat, industri yang tersedia cukup banyak untuk menampung cadangan tenaga kerja baru ini. Sebaliknya, para pendatang baru di perkotaan Indonesia masa kini tidak dapat menemukan pekerjaan yang memadai jumlahnya. Jangankan dalam tingkat upah, pertumbuhan jumlah lowongan kerja saja tidak berimbang dengan jumlah pendatang baru yang tiba tiap tahu di kota-kota besar di seluruh Indonesia. <br /><br />Karena itu, pola akumulasi primitif ini menghasilkan banyak sekali kantung-kantung kemiskinan yang kumuh di perkotaan. Di kantung-kantung kemiskinan ini, warga berjuang dari hari ke hari untuk mendapatkan pekerjaan apapun yang bisa membantu mereka melewatkan hari itu dan, jika mereka beruntung, keesokan harinya. Keterdesakan untuk bertahan hidup ini membuat warga di kampung-kampung kumuh ini mengerjakan apa saja, hal-hal yang tidak terbayangkan, untuk dijadikan uang. Dan sempitnya peluang yang tersedia menyebabkan pertarungan memperebutkan peluang ini menjadi sangat keras.<br /><br />Struktur kepemimpinan di tengah masyarakat miskin perkotaan jarang sekali bersifat demokratis. Biasanya, hanya orang-orang "kuat" yang mampu memimpin komunitas yang hanya diikat oleh satu hal: sama-sama menunggu kesempatan untuk "sukses" - apapun makna "sukses" bagi mereka. Mereka telah dipaksa untuk menjadi proletariat karena telah dilucuti dari sarana produksi milik mereka. Namun mereka tidak bisa masuk ke dalam dunia proletariat karena kurangnya lapangan pekerjaan. Suasana di mana mereka sudah dipaksa berhadapan dengan taring telanjang kapitalisme, sementara mereka tidak dapat menikmati solidaritas yang menjadi ciri proletariat, menyebabkan mereka (dalam keadaan tidak terorganisir) sangat mudah terjatuh ke arah pemikiran vigilantisme - hukum ditentukan oleh mereka yang kuat. Pemikiran ini hanya berjarak sejengkal saja dari militerisme skala penuh.<br /> <br />Dan, sialnya, kelompok-kelompok vigilantes (premanisme terorganisir) dan paramiliter (orang sipil yang dipersenjatai dan bertingkah laku seperti tentara) di Indonesia biasanya melakukan perekrutan dengan preteks (dalih) membagi lapak dan lapangan pekerjaan. (Ini baru pengamatan sepintas dan dari beberapa wawancara informal. Butuh disangkal lewat penelitian ilmiah.) Banyak orang juga ikut menjadi anggota organisasi vigilantes dan paramiliter karena tertarik dengan janji disalurkan bekerja. Dengan cara ini, organisasi preman menjadi agen yang kuat untuk menegakkan sistem ketenagakerjaan ala Neoliberal, yakni Labor Market Flexibility.<br /> <br />SatpolPP tidaklah terlalu berbeda. Banyak artikel yang mengutip wawancara dengan para anggota Satpol PP (yang bertanggungjawab dalam kekerasan yang terjadi di berbagai penggusuran) menyatakan bahwa sebenarnya hati nurani mereka menjerit. Tapi, apa daya, begitu kata mereka, perintah atasan dan mereka juga butuh makan.<br /> <br />Pernyataan seperti inilah yang menjadi ciri dari Lumpenproletarisme. Lumpenproletariat adalah proletariat sampah, yang hidup dari memangsa sesama proletariat. Kata lumpen berasal dari bahasa Jerman, der Lumpen, yang artinya lap dapur. Ia bukan kriminal biasa. Ia adalah drakula, dari jenis yang terburuk. Dan drakula-drakula ini adalah bahan mentah yang siap dibentuk menjadi senjata pemukul yang ampuh, pelayan bagi kelas berkuasa. <br /><br /><span style="font-weight:bold;">Implikasinya bagi kita</span><br /><br />Pengorganisiran terhadap kelompok yang secara pukul-rata disebut "kaum miskin perkotaan" biasanya disandarkan pada perebutan hak sebagai warganegara - khususnya hak mendapat pelayanan publik. Ini tentu bukan satu hal yang keliru, karena mereka justru terdampar di perkotaan karena kehilangan hak mereka atas alat-alat produksi. Lagipula, kondisi mereka yang mengais hidup dari hari ke hari ini akan sangat terbantu dengan perjuangan atas hak sebagai warganegara. Perjuangan atas hak warganegara ini dapat menjadi satu alat pengorganisiran yang ampuh, sebagaimana telah ditunjukkan oleh pengalaman SRMK (Serikat Rakyat Miskin Kota) yang mengorganisir di wilayah Jakarta Barat.<br /><br />Namun demikian, analisis kelas kita menunjukkan bahwa perjuangan atas hak warganegara ini bukanlah alat pukul utama yang bisa kita bangun dari komunitas miskin perkotaan. Kita harus melihat mereka sebagaimana mereka adanya: pasukan cadangan proletariat (<span style="font-style:italic;">reserve army of proleariat</span>). <br /><br />Jika komunitas miskin perkotaan dipandang secara demikian, maka perjuangan kelas pekerja tidak boleh ditujukan secara eksklusif untuk pembelaan terhadap buruh yang masih bekerja di pabrik, melainkan juga terhadap komunitas ini. Serikat-serikat buruh harus merangkul organisasi-organisasi komunitas, bersama-sama memperjuangkan perbaikan nasib di komunitas sekaligus penciptaan lapangan kerja baru. Lebih baik lagi kalau bukan sekedar merangkul, tapi memang dengan sengaja serikat buruh mengirim organisernya untuk membantu pengorganisiran di komunitas. Organisasi-organisasi kelas kapitalis mengirim organisernya ke sini, mengapa serikat-serikat buruh tidak? Bukankah kelas pekerja ingin mengambil kekuasaan dari tangan kelas kapitalis? Tanpa bertarung di semua lini, termasuk memperebutkan kepemimpinan di tengah komunitas miskin perkotaan, mimpi kelas pekerja untuk berkuasa akan sulit tercapai.<br /><br />Persatuan organik antara serikat buruh dengan serikat komunitas akan berguna juga berkenaan dengan persoalan organisasi-organisasi paramiliter, termasuk SatpolPP. Organisasi paramiliter ini menarik anggotanya dari kalangan miskin perkotaan sekaligus menggunakan orang-orang miskin ini di barisan terdepan ketika memukul komunitas miskin lainnya. Dengan masuknya pengorganisiran kelas ke tengah komunitas miskin perkotaan, kita akan mengajarkan dan melatih komunitas itu untuk bersolidaritas. Solidaritas akan memudahkan kita melancarkan perlawanan terhadap organisasi paramiliter, yang terkadang menuntut digunakannya metode-metode yang keras lawan keras. Solidaritas juga akan melunakkan, minimal mematahkan kohesi di tengah organisasi paramiliter ini, melumpuhkan kemampuannya bergerak sebagai satu unit yang utuh dan tak kenal belas-kasihan. Kalau kita beruntung, dan cukup tabah berjuang, ada kemungkinan kita bisa mendorong terjadinya pembelotan. Jika para anggota SatpolPP atau organisasi paramiliter lain bisa dibangkitkan solidaritasnya, ada kemungkinan mereka akan membangkang pada perintah atasan mereka dan balik berpihak justru pada komunitas yang tadinya menjadi sasaran penindasan mereka. <br /><br />Ada banyak kemungkinan terbuka untuk ini. Mari kita diskusikan lebih lanjut. <br /><br /><left>Jakarta,1 Juli 2007</left><br /><br /><span style="font-style:italic;">*Ketua Divisi Pendidikan Komite Pusat Perhimpunan Rakyat Pekerja</span><br /></span><div class="blogger-post-footer">http://my.yahoo.com, http://reader.google.com, http://360.yahoo.com</div>Perhimpunan Rakyat Pekerjahttp://www.blogger.com/profile/13408951774927289203noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-1105056731449200458.post-47852144266023960922007-06-24T13:10:00.000+07:002007-06-24T13:14:39.248+07:00Solidaritas terhadap mantan buruh RCTI<center><span style="font-weight:bold;">PERNYATAAN SIKAP<br />PERHIMPUNAN RAKYAT PEKERJA (PRP)</span></center><br /><br /><center><span style="font-style:italic;">Hentikan segera pemberangusan terhadap hak-hak rakyat!!!<br />Security Group Artha (SGA) harus bertanggunjawab terhadap aksi pemukulan buruh!!!<br />Hari Tanoesoedibjo harus diusut akibat pemecatan sepihak terhadap buruhnya!!!<br /></span></center><br /><br />Salam rakyat pekerja,<br /><br />Pengebirian demokrasi di Indonesia kembali terjadi. Aksi pemukulan terhadap buruh-buruh yang ingin memperjuangkan haknya kerap kali dilakukan oleh orang-oang bayaran para pemilik modal. Bahkan penolakan pemilik modal untuk mematuhi keputusan hukum yang telah berjalan, kembali diinjak-injak. Negara pun tidak dapat memaksakan keputusan hukum yang telah berlaku kepada para pemilik modal yang jelas-jelas telah dinyatakan bersalah dalam keputusan Mahkamah Agung.<br /><span class="fullpost"><br />Jelas bahwa aksi pemukulan terhadap mantan buruh RCTI yang tergabung dalam Ikatan Solidaritas Karyawan (ISKA) RCTI merupakan suatu pencorengan terhadap demokrasi di Indonesia. Pada tanggal 22 Juni 2007, ISKA RCTI dan beberapa elemen pro demokrasi yang tergabung dalam Solidaritas Masyarakat untuk Karyawan (SEMARAK) RCTI melakukan aksi damai ke gedung BEJ di Jalan Jend Sudirman Kav 52-53. Aksi ini dilakukan karena pihak RCTI pada tahun 1999 melancarkan aksi Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) kepada 250 buruhnya. Perjuangan para mantan buruh pun dilakukan agar pihak RCTI dapat memenuhi hak-hak buruhnya. <br /><br />Kemudian pada tahun 2003, Mahkamah Agung (MA) memutuskan untuk menolak permohonan ijin pengusaha RCTI agar dapat melakukan PHK terhadap 250 buruhnya. Bahkan pihak RCTI, dalam keputusan MA, dinyatakan harus menerima kembali para buruh yang di-PHK untuk bekerja kembali seperti semula. Namun sampai 2007, keputusan MA tersebut tidak dipenuhi oleh pihak RCTI.<br /><br />Maka dari itu, kawan-kawan mantan buruh RCTI bersama dengan beberapa elemen pro demokrasi lainnya berencana untuk melakukan aksi damai. Aksi damai ini pun dipicu karena mantan buruh tersebut mendengar bahwa RCTI berencana akan go public. Isu go public itu sendiri dirasa oleh para mantan buruh sebagai upaya untuk menutupi citra RCTI yang sebenarnya.<br /><br />Ketika aksi damai ke gedung BEJ dilancarkan oleh para mantan buruh RCTI dan beberapa elemen pro demokrasi, ternyata mereka dihadapi oleh tindak kekerasan dari aparat keamanan Security Group Artha (SGA). Upaya aparat keamanan SGA untuk membubarkan aksi damai ini memang sudah terlihat ketika rombongan aksi itu datang. Awalnya mereka menanyakan surat ijin untuk melakukan aksi demonstrasi dari kepolisian. Kemudian ketika diperlihatkan surat pemberitahuan untuk melakukan demonstrasi kepada kepolisian, mereka pun memaksa utnuk mengambil surat tersebut. Hal inilah kemudian yang memicu ketegangan antara para pengunjuk rasa dan aparat keamanan dari SGA.<br /><br />Seharusnya ketika para buruh telah mendapatkan surat ijin dari kepolisian untuk melakukan aksi demonstrasi, maka aksi tersebut tidak dapat dibubarkan begitu saja oleh pohak lain. Karena surat pemberitahuan tersebut merupakan suatu bukti bahwa aksi tersebut telah diketahui oleh kepolisian dan kepolisian akan melindungi rakyatnya yang melakukan aksi demonstrasi untuk dapat mencapai hak-haknya.<br /><br />Namun aksi pembubaran dengan melakukan tindakan kekerasan, berupa pemukulan dan tendangan ke beberapa anggota aksi pun terjadi. Kembali Indonesia telah dicoreng dengan sikap arogansi para aparat keamanan swasta yang berusaha melindungi majikannya. Pihak kepolisian yang menjaga aksi tersebut pun tidak dapat melakukan apapun, atau bahkan malah mendiamkan tindakan kekerasan dari aparat keamanan SGA.<br /><br />Sementara Hari Tanoesoedibjo, yang merupakan Direktur Utama PT Media Nusantara Citra (MNC) telah jelas-jelas melanggar keputusan MA. Namun sampai saat ini tidak ada upaya apapun yang dilakukan oleh negara terhadap penolakan keputusan MA dari seorang warga negara tersebut. Bahkan sebenarnya dalam Pengadilan Hubungan Industrial Jakarta Barat, Hari Taoesoedibjo telah dinyatakan sebagai tersangka dalam kasus ini.<br /><br />Dalam permasalahan ini, jelas kita melihat keberpihakan negara kepada para pemilik modal. Sementara rakyat yang seharusnya dilindungi dan bahkan diperkuat dengan keputusan MA bahwa para mantan buruh tersebut dalam pihak yang benar, namun ketika mereka ingin menggapai hak-haknya, mereka malah dipukuli. <br /><br />Maka dari itu, kami dari Perhimpunan Rakyat Pekerja (PRP) menyatakan sikap:<br /><OL><br /><LI>Negara telah gagal dalam melindungi hak-hak rakyatnya, dan lebih berpihak kepada para pemilik modal yang telah merugikan rakyat.<br /><LI>Hari Tanoesoedibjo, sebagai Direktur Utama MNC, harus diusut dan dihukum karena telah dinyatakan sebagai pihak yang bersalah oleh keputusan MA dalam kasus PHK kepada buruhnya.<br /><LI>Pihak RCTI harus menerima kembali para mantan buruh yang telah di-PHK, karena hal tersebut telah diperkuat dalam keputusan MA.<br /><LI>Pihak kepolisian harus segera mengusut hingga tuntas dan menghukum aparat keamanan dari SGA yang telah melakukan tindakan kekerasan terhadap para mantan buruh RCTI dan beberapa elemen pro demokrasi di BEJ. Karena sikap arogansi dan premanisme dari aparat keamanan SGA tersebut telah melanggar HAM.<br /><LI>Kepada elemen pro demokrasi lainnya untuk segera membentuk persatuan multi sektor rakyat pekerja dan melakukan perjuangan politik karena tindakan kekerasan terhadap rakyat yang ingin hak-haknya terpenuhi akan terus berlangsung, selama pemerintahan ini tidak berpihak kepada rakyat yang tertindas.<br /></OL><br /><br /><center>Jakarta, 24 Juni 2007</center><br /><center>Komite Pusat Perhimpunan Rakyat Pekerja</center><br /><br /><br />Sekretaris Jenderal<br /><br /><br /><br /> Irwansyah<br /><br /><br /><br /></span><div class="blogger-post-footer">http://my.yahoo.com, http://reader.google.com, http://360.yahoo.com</div>Perhimpunan Rakyat Pekerjahttp://www.blogger.com/profile/13408951774927289203noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1105056731449200458.post-64465666138114346152007-06-22T18:28:00.000+07:002007-06-22T18:33:02.798+07:00(Di)Hilang(Kan)nya Sebuah Rasa KebangsaanAngky B. Putrantyo*<br /><br />Di sadari atau tidak, Indonesia hari ini mulai berusaha menghilangkan arti penting sebuah bangsa. Para pendiri ini republik ini bercita-cita mendirikan bangsa yang berdaulat atas dasar Pancasila bukan ideologi lain! Proses panjang yang berdarah-darah dalam menegakkan republik ini tidak lagi dipelajari dengan baik dan benar, kepentingan politis dan kepentingan-kepentingan golongan lain—baik itu agama atau yang lain—seakan-akan lebih penting dari pada rasa kebangsaan.<br /><span class="fullpost"><br />Indonesia hari ini, mulai tidak sadar(mungkin sengaja untuk tidak sadar) bahwa kesalahan-kesalahan di masa lalu kembali diulangi. Ada beberapa hal yang mudah dirasakan bahwa ada usaha-usaha untuk menghilangkan rasa kebangsaan tersebut. Beberapa hal diantaranya adalah: <span style="font-style:italic;">pertama</span>, dibubarkannya Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR). Sebagian golongan yang mengaku rakyat Indonesia bangga akan hasil tersebut (mereka merasa dirinya paling benar), namun mereka lupa bahwa orang-orang yang selama rezim Orde Baru dianggap sebagai tapol adalah anak-anak bangsa yang turut serta menegakkan Pancasila.<br /><br />Mereka-mereka yang di stigma legal sebagai PKI, adalah orang-orang yang pernah mempertahankan Pancasila, turut berjuang menegakkan keutuhan bangsa. Bahkan seharusnya kita bertanya kepada mereka-mereka yang tidak menginginkan rekonsiliasi itu. Apakah mereka pernah memperjuangkan Pancasila?<br /><br /><span style="font-style:italic;">Kedua</span>, Indonesia hari ini berupaya melakukan pembelengguan akal pikir generasi muda dengan cara <span style="font-style:italic;">membredel</span> buku-buku pelajaran sejarah. Indonesia hari ini lupa bahwa bangsa ini punya sejarah gelap, sejarah yang berdarah, sejarah pembantaian yang dilakukan oleh bangsa sendiri. Sudah seharusnya generasi muda tahu semua itu. Sudah saatnya generasi muda belajar dari kelampauan untuk mengkonstuk hari ini dan masa depan yang mapan.<br /><br />Seharusnya kita sadar, bahwa realitas yang ada saat ini adalah usaha-usaha pembelokan sejarah dan memutar balikkan fakta. <span style="font-style:italic;">Pemberedelan</span> buku-buku pelajaran tersebut tidak memiliki landasan yang fundamental, hanya karena penulisan G 30 S tanpa embel-embel PKI saja tentu bukan alasan yang substansial. Apabila kita mau sedikit cermat dan bijaksana, Sejarawan Hilmar Farid dalam wawancara sebuah media massa mengatakan bahwa para pemimpin dan pelaku peristiwa pada bulan September 1965 menamakan dirinya gerakan 30 September dan bukan G30S/PKI. Istilah G30S/PKI adalah produk politik Orde Baru sebagai salah satu proses Genoside dan berhasil meracuni cara berfikir bangsa ini.<br /><br />Berjalannya ide-ide kebangsaan hanya akan berhasil apabila ada kerjasama yang baik antar elemen di masyarakat. Kerjasama tersebut berawal dari diri kita masing-masing yang harus belajar sadar bahwa mereka-mereka yang di-stigma PKI adalah anak-anak bangsa. Mau belajar dengan rendah hati untuk saling memaafkan agar tidak ada lagi konflik yang dapat menghancurkan bangsa ini atau bahkan menghilangkan arti penting kebangsaan.<br /><br /><span style="font-style:italic;">*Ketua Biro Penelitian&Pengembangan Center of Local Economic and Politic Studies (CoLEPS) Jember </span><br /></span><div class="blogger-post-footer">http://my.yahoo.com, http://reader.google.com, http://360.yahoo.com</div>Perhimpunan Rakyat Pekerjahttp://www.blogger.com/profile/13408951774927289203noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1105056731449200458.post-9483124344143358362007-06-22T18:23:00.000+07:002007-06-22T18:28:40.918+07:00Reforma Agraria Sebagai Alat Pemberdayaan RakyatAngky B. Putrantyo*<br /><br />Reforma agraria bukanlah isu baru bagi rakyat Indonesia, di era 1960-an isu ini lebih dikenal dengan nama Landreform dan dituduh sebagai sebuah gerakan komunis pada saat itu. Membicarakan landreform atau reforma agraria bukanlah membahas komunis atau bukan komunis, konsep ideal reforma agraria yang pernah ada di Indonesia—UUPA 1960 & UUPBH, TAP MPR No. IX/MPR/2001, Perpres No. 36/2005— sebenarnya mengandung sebuah nilai yang sangat mulia yaitu mensejahterakan kehidupan rakyat.<br /><span class="fullpost"><br />UUPA 1960 yang disusun oleh Panitia 11 (sebut saja begitu, karena terdiri dari perwakilan 10 ormas tani dan seorang dari Departemen Agraria), berhasil menghancurkan dua produk kolonial Belanda (<span style="font-style:italic;">Domein Verklaring& Agrarische Wet</span>) dari bumi Indonesia. UUPA 1960 adalah sebuah produk dalam negeri yang diproses oleh dewan legislatif dengan rujukan UUD 1945 pasal 33 yang mana disebutkan bahwa Negara menguasai tanah, air dan kekayaan yang terkandung di dalamnya untuk kemakmuran rakyat yang sebesar-besarnya.<br /><br />Carut marutnya kondisi ekonomi dan politik Indonesia di era 1960-an, menjadikan pelaksanaan landreform tidak berjalan sebagai mana mestinya. Landreform yang di jalankan setengah hati oleh beberapa golongan menumbuhkan benih-benih konflik di lapisan masyarakat pedesaan. Isu-isu landreform di era 1960-an juga di gunakan sebagai alat pembenaran <span style="font-style:italic;">genoside</span> sepanjang tahun 1965 sampai dengan tahun 1967.<br /><br />Belajar dari pengalaman historis(mungkin), pemerintah negeri ini mengeluarkan produk baru dengan nama TAP MPR No. IX/MPR/2001 dan Perpres No. 36/2005. Lagi-lagi sebuah konsep yang ideal tentang pembaharuan agraria dan pengelolaan Sumber Daya Alam. Seharusnya konsep ini tidak hanya berakhir pada tataran teoritis dan habis setelah menjadi wacana publik. Konsep ini akan semakin ideal apabila pemerintah dengan serius menjalankannya dan bisa dirasakan hasilnya oleh rakyat di negeri ini.<br /><br />Banyak hal yang bisa kita rumuskan dari beberapa kasus dan kondisi terbaru tentang gagasan reforma agrarian dewasa ini. Beberapa hal yang perlu diperhatikan oleh pemerintah antara lain: <span style="font-style:italic;">pertama</span>, pembagian tanah bagi rakyat yang tidak memiliki mata pencaharian khusunya di daerah pedesaan. Disini perlu diperhatiakan bahwa tanah-tanah yang di bagikan untuk rakyat adalah tanah-tanah yang produktif dan tidak bermasalah (sengketa) dengan pihak lain.<br /><br /><span style="font-style:italic;">Kedua</span>, pemerintah harus sadar bahwa pemberian sertifikat oleh pejabat terkait bukanlah sebuah solusi akhir bagi rakyat. Pemerintah paling tidak bisa membentuk sebuah kelompok tani di daerah tersebut guna mengolah tanah yang telah di sertifikatkan tadi secara bersama-sama demi kemakmuran anggota kelompok tersebut. Selain sebagai sumber mata pencaharian yang berkelanjutan, kelompok tani ini juga sebagai pengawas agar tanah yang telah disertifikatkan tidak di jual atau di gadaikan. Sebab apabila tanah-tanah tadi dijual atau digadaikan maka rakyat dimungkinkan akan kembali miskin.<br /><br />Reforma agraria yang digulirkan oleh pemerintah tentunya juga mencakup aspek-aspek pemberdayaan masyarakat pemilik tanah, dalam artian bahwa pemerintah juga memberikan bantuan permodalan, pemeliharaan dan menjamin kesejahteraan dengan cara memberikan atau membantu mencarikan pasar untuk memasarkan hasil pertanian dari kelompok tersebut. Hal ini tentunya juga harus ada pemahaman bersama antara kelompok tani tersebut dengan aparatur terkait seperti BPN.<br /><br />Apabila reforma agraria benar-benar di jalankan oleh pemerintah negeri ini, maka amanat pada UUD 1945 tentang menciptakan kemakmuran bagi rakyat dapat terwujud. Sudah saatnya Pancasila dan UUD 1945 dijalankan secara konsisten. Reforma agraria adalah alat untuk kembali <span style="font-weight:bold;">memberdayakan rakyat</span> bukan <span style="font-weight:bold;">memperdaya rakyat!!!!.</span><br /><br /><span style="font-style:italic;">*Ketua Biro Penelitian dan Pengembangan Centre of Local Economic and Politic Studies (CoLEPS) Jember<br /></span><br /></span><div class="blogger-post-footer">http://my.yahoo.com, http://reader.google.com, http://360.yahoo.com</div>Perhimpunan Rakyat Pekerjahttp://www.blogger.com/profile/13408951774927289203noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1105056731449200458.post-1616323233820638622007-06-22T18:16:00.000+07:002007-06-22T18:37:06.774+07:00Demokrasi Sebuah Kata Final?<span style="font-style:italic;">Riky Akira*</span><br /><br />Demokrasi prosedural seakan-akan merupakan satu-satunya pilihan sistem politik bagi seluruh negara di berbagai belahan dunia saat ini. Gelombang demokratisasi negara-negara ini telah berlangsung sejak akhir perang dunia kedua dan semakin menguat pada dekade 1980-an.<br /><span class="fullpost"><br />India merupakan salah satu negara yang tidak luput dari <span style="font-style:italic;">‘trend’</span> internasional tersebut, bahkan negara yang padat penduduknya tersebut telah menjadi salah satu negara terbesar yang menerapkan demokrasi prosedural secara penuh dan aktif. Tidak tanggung-tanggung negara ini menerapkan sistem yang tidak jauh berbeda dengan demokrasi prosedural yang diterapkan negara-negara maju.<br /> <br />Kita harus mengakui bahwa hampir di seluruh negara di dunia saat ini menjadikan sistem politik ini sebagai sandaran harapan perubahan. Harus diakui pula -suka ataupun tidak- bahwa kesadaran rakyat di berbagai negara mendorong mereka untuk menyukai politik elektoral ini. Termasuk juga di Kerala, India. Rakyat antusias dan merasa senang untuk terlibat dalam memilih. Karena dalam proses ini rakyat merasa ikut berpolitik tanpa merasa perlu menanggung akibat-akibat dan resiko politik.<br /> <br />Namun menguatnya Amerikanisasi sistem kepartaian dan demokrasi yang berlaku saat ini memberikan ruang bagi bagi munculnya <span style="font-style:italic;">'disposal political party'</span>, partai-partai yang dibuat semata-mata sebagai kendaraan bagi para elit: orang berduit, figur populer, untuk meraih kekuasaan. Keadaan ini mendorong komersialisasi kepartaian dan politik makin menjadi-jadi bahkan menjadi satu-satunya logika politik yang ada saat ini.<br /><br />Di samping itu mengakibatkan absennya hal-hal fundamental seperti ideologi. Program, isu-isu esensial seperti keadilan dan persamaan hingga akibatnya tujuan-tujuan kepolitikan secara umum akan lebih banyak dirumuskan dan dikendalikan oleh kelanjutan pragmatisme politik yang sudah ada dan mengakar.<br /> <br />Tidak perlu jauh-jauh bagi kita untuk melihat fenomena ini, di Indonesia sendiri kondisi serupa merupakan kondisi yang nyata-nyata terpampang di depan mata kita. Seperti dalam tulisan saya sebelumnya, yang kemudian menimbulkan pertanyaan yang layak dikedepankan adalah layakkah partai yang eksis saat ini menjadi tumpuan harapan akan perubahan?<br /> <br />Pada suatu negara demokratis, terdapat kandungan yang memiliki pengertian bahwa paling tidak di situ ada <span style="font-style:italic;">‘ruang’</span> dimana masyarakat sipil dan kelompok oposisi dapat berfungsi dan mengejar tujuannya. Perkembangan akhir-akhir ini di Dunia Ketiga memungkinkan makin terbukanya ruang itu di banyak Negara. Sehingga muncul <span style="font-style:italic;">‘revolusi diam’</span> yang berasal dari lapisan paling bawah dan mempengaruhi organisasi dan politik di tingkat regional maupun nasional di Dunia Ketiga. Organisasi ini justru mengikutsertakan lapisan paling bawah sebagai fondasi dari masyarakat demokratis Dunia Ketiga. Terjadi sebuah restrukturisasi fundamental untuk bidang kelembagaan pembangunan sebagai akibat lanjut perluasan pemberdayaan.<br /><br />Namun kalian yang membaca tulisan ini kemudian akan bertanya mengenai apa signifikansi India dalam pembelajaran demokrasi bagi kita? Jawabannya mungkin tidak dapat terjawab pada satu tulisan ini, bahkan tulisan ini pun mungkin tidak akan mampu menjawab pertanyaan itu. Karena maksud penulisan ini sebenarnya merupakan overview atau bahkan sekedar preview sebelum kita bersama-sama melangkah bersama mengenal karakteristik demokrasi di salah satu negara terpadat didunia tersebut. Dengan salah satu contoh kasus di negara bagian Kerala, India.<br /> <br />Mengapa kita akan lebih memperhatikan satu negara tersebut? <span style="font-style:italic;">Pertama</span>; bahwa karena karakteristik masyarakatnya yang sangat plural namun dengan taraf ekonomi yang relatif tidak tinggi. <span style="font-style:italic;">Kedua</span>; bahwa ruang politik lokal disana memungkinkan berdirinya partai politik lokal progresif yang konsen terhadap permasalahan lokal serta erat bekerja sama dengan kelompok aksi sosial-politik yang tumbuh subur dan memiliki relasi yang dekat dengan massa. <span style="font-style:italic;">Ketiga</span>; banyaknya pencapaian yang telah direngkuh oleh masyarakat Kerala yang diakui baik di dalam negeri maupun dunia internasional, khususnya bidang pendidikan dan pemberdayaan.<br /> <br />Bagaimana di balik permasalahan dan hambatan dari demokrasi disana justru dapat di putar menjadi sebuah kesempatan untuk pendalaman demokrasi yang melibatkan masyarakat secara aktif. Kerala, India adalah salah satu negara bagian yang dapat menjadi contoh pelibatan kembali masyarakat dalam sistem politik. Ditengah kecenderungan apatisme politik dan depolitisasi massa oleh demokrasi yang reot.<br /> <br />Dengan membangun institusi pemerintahan mandiri serta keterlibatan pengembangan sumber daya manusia. Rakyat harus cukup banyak akal untuk hadir dalam bagian penting sistem politik, mempolitisir kepentingan dasar mereka, dan memobilisir dukungan secara luas, sehingga mereka cukup tahan untuk menggunakan hak kebebasan berbicara, dan organisasi juga menjadi seperti lembaga elektoral yang bebas dan adil. Kalau tidak begitu maka demokratisasi dan demokrasi tidak akan cukup substansial untuk membentuk cara yang berarti bagi rakyat, dalam memecahkan masalah yang biasa dan membangun kehidupan yang lebih baik.<br /><br />Keberhasilan Kerala sehingga menjadi model tersebut tidaklah telepas dari ide kreatif dari para aktivis kelompok aksi sosial-politik dan akademisi. Kalangan intelektual yang memiliki kesadaran untuk mengambil peran dalam perubahan sosial bersama kelompok rakyat termarjinal, seperti di Kerala dimana terdapat <span style="font-style:italic;">“People Science Movement”</span> atau Gerakan Ilmu Pengetahuan Rakyat yang di tukangi oleh kaum terpelajar dengan misi memberikan pengajaran dan pengetahuan kepada rakyat. Sekaligus merupakan kelompok aksi paling ‘vokal’ dan berdampingan dengan rakyat tertindas. KSSP memandang bahwa masyarakat India terbagi dalam dua kelompok: minoritas, yang mana terus-menerus bertambah kaya dan mayoritas yang terus menerus melarat atau menghadapi ancaman pemiskinan.<br /><br />Kerjasama dengan Partai Komunis India-Marxist (CPI-M) juga menjadi fondasi pemberdayaan masyarakat di lapisan akar rumput. Partai satu ini tampaknya telah memiliki perspektif untuk tidak hanya berfikir bagaimana merebut kekuasaan, namun juga mengambil kesempatan untuk mendidik dan menggalang dukungan yang luas terhadap mereka. Partai merasa sudah menjadi kewajiban mereka untuk memenuhi hak ekonomi-sosial-budaya massa yang mendukungnya.<br /><br />Kondisi politik dan tekanan ekonomi yang semakin besar tampaknya telah mendorong terbentuknya berbagai kelompok aksi sosial dan politik yang mengusung visi ‘<span style="font-style:italic;">membangun masyarakat tanpa eksploitasi melalui perluasan demokrasi yang berbasis kemandirian rakyat’</span>.<br /><br />Sementara kita memerlukan ukuran generalisasi yang luas, ada manfaatnya secara analitis memilahkan kelompok aksi di Dunia Ketiga menjadi dua kategori yang luas: mereka yang menaruh perhatian pada pembangunan ekonomi dan mereka yang bekerja ke arah perubahan sosial politik. Seperti yang terlihat dalam kasus di Kerala, apakah sebagai isu politik atau bukan, pada umumnya hal itu merupakan indikator tingkat kesadaran politik rakyat jelata dan kekentalan masyarakat sipil di berbagai wilayah dan di Negara Dunia Ketiga. Pada negara-negara Dunia Ketiga yang demokratis atau yang menuju demokrasi, kelompok aksi cenderung memiliki tujuan sosial politik yang mencolok.<br /> <br />Kesimpulan bahwa akhirnya kelompok aksi akan menang dengan terbangunnya demokrasi partisipatoris di Dunia ketiga di masa mendatang, dapat dikatakan terlalu optimistis dan terlalu dini untuk ditarik. Realitasnya lebih kompleks dan untuk golongan bawah dapat lebih suram. Memang benar bahwa di sejumlah – barang kali sebagian besar – Negara Dunia Ketiga ruang kelembagaan dan politik yang baru dan tidak diperkirakan sebelumnya, telah terbuka untuk macam-macam usaha yang terorganisasi. Namun di satu sisi, kelompok kaum miskin yang besar dan heterogen dan mereka yang tersingkir merasa makin sulit untuk mempertahankan posisinya. Dalam berbagai hal, apa yang terjadi adalah revolusi <span style="font-style:italic;">‘diam’</span>.<br /> <br />Dihubungkan dengan upaya yang terjadi saat ini, suatu ledakkan organisasi sedang terjadi di Dunia Ketiga; tetapi, sangat sering, orientasinya adalah <span style="font-style:italic;">defensife</span>. Seringkali yang terjadi merupakan revolusi yang terjungkal pada tahap awal’; kelompok aksi ‘sedang membuat serangan tetapi masih jauh dari menggulingkan tatanan lama kemiskinan dan ketidaksetaraan’. Karena kelompok aksi sosial-politik harus terus berkutat pada pemanfaat ruang yang disediakan oleh demokrasi. Dari sana justru kelompok sosial-politik ini akan mencapai kemajuan. Pertanyaan yang akan muncul kemudian dan pantas untuk direnungkan oleh kita kelompok yang mengaku progresif adalah dimana peran partai progresif atau kiri atau bahkan berani mengaku revolusioner? Buat saya partai kiri kemudian harus mampu mempertahankan ruang yang disediakan oleh demokrasi dengan berbagai cara sehingga dengan demikian juga akan mampu mendorong kinerja kelompok aksi sosial-politik.<br /><br /><span style="font-style:italic;">*Ketua Divisi Jaringan dan Hubungan Internasional KP PRP</span><br /></span><div class="blogger-post-footer">http://my.yahoo.com, http://reader.google.com, http://360.yahoo.com</div>Perhimpunan Rakyat Pekerjahttp://www.blogger.com/profile/13408951774927289203noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1105056731449200458.post-44881998984619402372007-06-22T18:10:00.000+07:002007-06-22T18:15:52.749+07:00Negara ini Bebas Ekspresi dan Pendapat*<span style="font-style:italic;">Ari Yurino**</span><br /><br />Judul diatas sebenarnya memiliki makna ganda. Sama halnya seperti tulisan-tulisan yang sering kita temui dalam satu ruangan yang menyatakan “Ruang ini Bebas Rokok”. Apakah maksudnya ruangan tersebut terbebas dari rokok yang artinya dilarang merokok, atau sebenarnya memang dibebaskan untuk merokok di ruangan itu.<br /><span class="fullpost"><br />Sama seperti negara kita yang menyatakan negara menjamin rakyatnya untuk memiliki kebebasan berekspresi dan berpendapat. Namun nyatanya ketika rakyatnya ingin berekspresi dan berpendapat, negara segera melakukan pengawasan dan intervensi atau bahkan negara membiarkan suatu kelompok massa untuk menghilangkan kebebasan berekspresi dan berpendapat kelompok lain. Kalau begitu mungkin arti dari judul diatas adalah negara ini terbebas dari ekspresi dan pendapat. Kata lainnya adalah rakyat dilarang untuk berekspresi dan berpendapat.<br /><br />Bukti dari negara ini terbebas dari ekspresi dan pendapat adalah pengalaman kawan-kawan Papernas dan Ultimus. Agenda kegiatan Papernas dan Ultimus telah beberapa kali gagal dilaksanakan yang disebabkan oleh intimidasi dan aksi pembubaran oleh aparat kepolisian dan beberapa organisasi massa. Yang baru saja terjadi adalah batalnya salah satu rangkaian kegiatan May Rally 2007 yang rencananya berakhir pada tanggal 1 Juni 2007. Agenda diskusi buku “Memahami Revolusi Venezuela” yang seharusnya dilaksanakan pada tanggal 1 Juni 2007 dan merupakan acara terakhir dari May Rally 2007 akhirnya harus ditunda. Penundaan tersebut dikarenakan intervensi dari pihak kepolisian yang sejak hari kedua melakukan pengawasan ketat terhadap rangkaian kegiatan ini.<br /><br />Pada tanggal 14 Desember 2006, bahkan acara diskusi yang diadakan di Ultimus Bandung sempat dibubarkan oleh sekelompok massa. Hal ini dilakukan karena acara tersebut dianggap oleh kelompok massa tersebut menyebarkan paham komunis.<br /><br />Begitu juga yang dialami oleh Papernas. Beberapa kali agenda kegiatan Papernas selalu saja dibubarkan oleh sekelompok massa yang tidak menginginkan munculnya kembali paham komunis di Indonesia. Bahkan penyerangan secara fisik terhadap massa Papernas sempat beberapa kali dilakukan oleh kelompok massa tersebut. <br /><br /><span style="font-weight:bold;">Upaya mencerdaskan bangsa</span><br />Negara jelas memiliki kewajiban untuk mencerdaskan bangsa ini. Upaya mencerdaskan bangsa merupakan komitmen bangsa Indonesia untuk mencapai masyarakat adil dan makmur. Bahkan upaya untuk menyebarkan pemahaman-pemahaman yang mencerdaskan bangsa dapat juga dilakukan oleh rakyat Indonesia.<br /><br />Hal ini juga yang tercermin dalam rangkaian kegiatan May Rally 2007 di toko buku Ultimus. Diskusi pemikiran Hugo Chavez dalam buku “Memahami Revolusi Venezuela” hanyalah upaya untuk dapat mengkaji dan mengkritisi pengalaman yang terjadi pada bangsa lain. Tentu saja dalam diskusi tersebut tidak mungkin kita mengambil secara mentah-mentah pemikiran Hugo Chavez untuk diterapkan di Indonesia. Karena tentunya kita harus juga melihat kondisi yang terjadi di Indonesia.<br /><br />Usaha untuk mengkaji dan mengkritisi agar rakyat dapat lebih cerdas seperti inilah yang dihalangi oleh negara. Upaya beberapa organisasi yang menjadi penyelenggara acara tersebut untuk dapat memahami secara lebih jelas pengalaman bangsa lain, ternyata tidak direstui oleh bangsanya sendiri. Bila negara memiliki kewajiban untuk mencerdaskan bangsa, mengapa upaya-upaya untuk meningkatkan kapasitas rakyatnya dicoba untuk dihalangi?<br /><br /><span style="font-weight:bold;">Perlindungan Negara?</span><br />Beberapa kali telah terbukti bahwa kelompok massa yang tidak sependapat dengan kelompok lain melakukan penyerangan fisik. Namun kenyataannya aparat yang berwenang, dalam hal ini kepolisian, seakan tidak mempermasalahkan hal tersebut. Padahal jelas dalam Undang-Undang Dasar kita menyatakan bahwa negara menjamin dan melindungi kebebasan berekspresi dan berpendapat bagi warga negaranya.<br /><br />Penyebaran paham komunis, seperti yang dituduhkan oleh beberapa kelompok massa, pun sampai saat ini tidak pernah terbukti dilakukan oleh Papernas ataupun kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh toko buku Ultimus. Seharusnyalah negara segera menindak kelompok-kelompok massa yang menyebarkan kebencian dan menimbulkan rasa ketakutan pada kelompok lainnya.<br /><br />Karena memang hal tersebut sudah menjadi bagian dari tanggung jawab negara dalam melindungi dan menjamin hak-hak warga negaranya. Bukan tidak mungkin, peristiwa seperti ini, akan menimpa kelompok-kelompok lainnya bukan hanya Papernas dan toko buku Ultimus. Dan jelas akibat dari negara tidak memberikan jaminan dan perlindungan terhadap hak untuk berekspresi dan berpendapat maka akan menimbulkan rasa takut dan tidak berani membela dirinya sendiri.<br /><br />Bila hal ini diteruskan, maka buka tidak mungkin akan terjadi pembodohan terhadap rakyat Indonesia. Dan akibat hal tersebut maka negara akan semakin otoriter dan semakin menindas rakyatnya yang berada dalam posisi yang lemah.<br /><br /><span style="font-weight:bold;">Kesadaran Melawan dan Bersatu</span><br />Jika negara sudah tidak mampu atau lebih tepatnya tidak mau melindungi dan menjamin hak-hak rakyatnya, maka tidak aneh jika rakyat sudah tidak percaya lagi kepada pemimpinnya. Bahkan ketika ketidakpercayaan ini memuncak, rakyat yang merupakan pemegang kekuasaan tertinggi di negeri ini dapat mengambil alih negeri ini. Karena jelas bahwa selama ini pemerintah kita, hanya memperdulikan kepentingan para pemilik modal dan berusaha membungkam suara-suara yang berusaha mengkritisi para pemimpinnya. <br /><br />Maka dari itu, kesadaran rakyat untuk bersatu dengan gerakan-gerakan rakyat yang lainnya sudah harus ditumbuhkan. Karena pembungkaman hak untuk berekspresi dan berpendapat bukan hanya dialami oleh Papernas dan Ultimus. Tetapi baik secara sadar maupun tidak sadar rakyat Indonesia sudah sekian lama dibungkam suaranya dan dibodohi.<br /><br />Ketika kenaikan harga-harga barang, jelas suara rakyat Indonesia tidak dihargai. Karena walaupun banyak sekali rakyat yang menolak kenaikan harga, namun kenyataannya harga tetap saja naik. Atau biaya pendidikan yang semakin tinggi, yang juga menyebabkan semakin tingginya angka bunuh diri pada anak sekolah. Hal ini dipicu karena anak tersebut malu orang tuanya tidak mampu membayar biaya sekolah. Atau tuntutan buruh agar upah layak nasional diberlakukan, namun sampai saat ini pemerintah masih saja berusaha berkelit agar buruh tetap mendapatkan upah minimum. Atau bahkan biaya pupuk dan impor beras yang semakin mencekik kehidupan petani, sementara petani di desa sudah banyak yang dilanda kemiskinan dan kelaparan. Dan masih banyak lagi suara-suara rakyat yang tidak dihiraukan atau tidak didengarkan oleh pemerintah, karena pemimpin kita lebih mendengarkan para pemilik modal dibandingkan rakyatnya.<br /><br />Maka sudah saatnya, rakyat Indonesia membentuk persatuan dari berbagai sektor, baik itu dari buruh, petani, mahasiswa, rakyat miskin kota, dan kelompok yang lainnya. Dan segera melakukan perlawanan dan perjuangan politik demi merebut kedaulatan rakyat yang saat ini telah dirampas oleh pemimpin bangsa ini yang lebih berpihak kepada para pemilik modal.<br /><br />Suara rakyat harus kembali didengarkan dan diberikan kebebasan untuk berekspresi dan berpendapat.<br /><br /><span style="font-style:italic;">*Tulisan ini pernah dipublikasikan oleh Buletin SADAR (prakarsa-rakyat.org)<br />**Ketua Divisi Propaganda KP PRP</span><br /><br /></span><div class="blogger-post-footer">http://my.yahoo.com, http://reader.google.com, http://360.yahoo.com</div>Perhimpunan Rakyat Pekerjahttp://www.blogger.com/profile/13408951774927289203noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1105056731449200458.post-58494405433250641552007-06-16T14:23:00.000+07:002007-06-16T14:41:56.377+07:00KOMUNIKASI ARSITEKTURAL PASCA BENCANA<span style="font-style:italic;">Prathiwi Widyatmi Putri*</span><br /><br /><a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhn4EANXleSDVTH2_LGl3LceNrT_UzHY1dxoRcHbaFNztPGmHisRYhzC1XWlK9dflth5KQSgAQz2FnbbxJdk57pfsn-VXFOgZ_8jBB21upsUyWgz5I1Yq_aKwRQ7kfrRapKVc_8rteM6-g/s1600-h/membuat_rencana_desa.jpg"><img style="float:left; margin:0 10px 10px 0;cursor:pointer; cursor:hand;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhn4EANXleSDVTH2_LGl3LceNrT_UzHY1dxoRcHbaFNztPGmHisRYhzC1XWlK9dflth5KQSgAQz2FnbbxJdk57pfsn-VXFOgZ_8jBB21upsUyWgz5I1Yq_aKwRQ7kfrRapKVc_8rteM6-g/s200/membuat_rencana_desa.jpg" border="0" alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5076561991359658866" /></a>Bencana alam datang entah menjemput maut dan atau menyisakan ratusan ribu orang kehilangan rumah dan mata pencahariannya. Rekonstruksi permukiman adalah salah satu kunci dalam rehabilitasi kehidupan para korban. Peran arsitek dalam proses ini adalah meninggalkan egonya sebagai perancang dan menjadi fasilitator untuk masyarakat menjadi perancang bagi dirinya sendiri.<br /><span class="fullpost"><br />Banyak arsitek dan pekerja kemanusiaan berfikir, partisipasi masyarakat dalam rekonstruksi rumah tinggalnya sudah cukup ketika ada beberapa pilihan bentuk rumah. Menawarkan beberapa alternatif desain ternyata tidaklah cukup. Lebih luas lagi, menjaga konsistensi partisipasi masyarakat dalam keseluruhan program rehabilitasi adalah kunci program yang sukses.<br /> <br />Perdebatan tentang cara efisien dan efektif dalam rekonstruksi perumahan selalu mewarnai rehabilitasi pasca bencana. Kita dapat menyederhanakan berbagai pilihan proses dalam tiga besar pendekatan: <span style="font-style:italic;">owner-driven approach, participatory housing approach, contractor-driven approach**</span>. Pendekatan pertama memungkinkan masyarakat membangun rumahnya kembali oleh dirinya sendiri dengan bantuan finansial, material bangunan dan atau asistensi teknis. Dalam pendekatan ini, tidak ada penyeragaman baik dalam bentuk desain maupun metologi membangun. Dalam pendekatan ketiga, para profesional merancang dan membangunkan rumah bagi para korban setelah beberapa tahap sosialisasi dilakukan. Pendeknya, masyarakat menerima kunci rumah siap pakai. Pendekatan partisipatif adalah sebuah kompromi atas dua pilihan pelaku utama dalam rekonstruksi permukiman: organisasi donor melalui kontraktor profesional atau masyarakat sebagai pemilik rumah.<br /> <br />Masing-masing pendekatan akan menjadi pilihan terbaik jika sesuai dengan kondisi yang ada. Kerap terjadi bahwa para keluarga terserap dalam rehabilitasi mata pencahariannya sehingga mereka menyerahkan keputusan bentuk dan metode membangun rumah kepada pemerintah atau lembaga donor. Kondisi ini memungkinkan menambah kerentanan penghuni, terutama kaum ibu, anak perempuan, orang-orang dengan cacat tubuh dan orang tua tunggal. Rumah adalah ruang personal setiap keluarga sehingga keinginan dan kebutuhan khusus harus diakomodasi. Oleh karena itu, proses fasilitasi dalam pengambilan keputusan desain dan metode konstruksi oleh masyarakat harus dilalui walaupun pada akhirnya konstruksi dilakukan oleh kontraktor profesional yang ditunjuk oleh pemerintah atau organisasi pemberi donor.<br /> <br />Kapankah saat yang tepat untuk melakukan proses fasilitasi desain? Sebelumnya, perlu disepakati suatu siklus umum pasca bencana dan kebutuhan rekonstruksi rumah tinggal. Pemerintah perlu dengan tegas membagi fase tanggap darurat, peralihan, dan pembangunan kembali. Dengan demikian, kebutuhan akan shelter pun dijawab dengan misi yang jelas, apakah emergency, temporary shelter, dan atau permanent housing. Lebih lanjut lagi, apa bentuk bantuan dan siapa yang menjalankan, apakah pemerintah pusat, daerah dan atau organisasi non-pemerintah.<br /> <br />Berdasarkan pengalaman penulis, sampai sekitar 2 atau 6 bulan pertama pasca bencana bisa disebut sebagai tahap ‘saving lives’, ketika semua berperan untuk mencegah jatuhnya korban tambahan. Setelah tahapan ini dilalui, masyarakat mulai menggeliat dan berupaya keras mengandalkan dirinya sendiri untuk keluar dari trauma bencana dan memulai sesuatu yang baru. Pada suasana inilah proses fasilitasi desain tepat dilakukan.<br /><br /><a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjEsYtnmsvHTcHQ8-05Cl5qn_BDWxaUuXbmQuTMbUkCQWhUbmHKh6K6bdpeWkCNFD1eLAhY9WD7IEtdzb3px-0NOFE_MPXUOW2VzaU-B9aZBDO0fk73nlmcH70L-0BWXmWGNmTsxtjaDak/s1600-h/dari_susunan_klaster_ke_susunan_interior.jpg"><img style="float:left; margin:0 10px 10px 0;cursor:pointer; cursor:hand;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjEsYtnmsvHTcHQ8-05Cl5qn_BDWxaUuXbmQuTMbUkCQWhUbmHKh6K6bdpeWkCNFD1eLAhY9WD7IEtdzb3px-0NOFE_MPXUOW2VzaU-B9aZBDO0fk73nlmcH70L-0BWXmWGNmTsxtjaDak/s200/dari_susunan_klaster_ke_susunan_interior.jpg" border="0" alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5076562820288347010" /></a>Setelah beberapa bulan dalam pengungsian, kebutuhan akan privasi begitu kuat: keinginan tinggal terpisah dari keluarga lain, anak perempuan memiliki ruang sendiri dan kaum ibu ingin punya dapur sendiri. Pada saat yang bersamaan, keinginan untuk kembali bekerja dan bersekolah telah muncul. Gairah yang muncul kembali ini harus dimanfaatkan dengan baik sebagai kekuatan menata kehidupan yang lebih baik. Apabila gairah besar ini tidak terfasilitasi, trauma dan rasa frustasi tahap kedua akan datang. Janji-janji bantuan pun memperburuk suasana. Jika momentum telah hilang, apatisme masyarakat mendominasi dan kegagalan program menunggu.<br /> <br />Pada tahap fasilitasi ini masyarakat diajak untuk bersikap realistis. Tidak pernah terjadi, ada bantuan yang menjawab semua kebutuhan. Artinya, masyarakat memutuskan dari alokasi yang ada, bantuan luar ditambah kekuatan sendiri, akan menjadi bentuk apa dan bagaimana. Kesadaran akan pentingnya mengadvokasi diri sendiri juga dibangun pada tahap ini, entah itu tuntutan untuk kasus lahan, akses air bersih maupun listrik.<br /><br />Fasilitasi harus dilakukan secara lengkap, dari skala desa sampai skala rumah tangga. Pada rembug desa, hal pertama yang disepakati adalah lokasi hunian yang diinginkan, kembali ke persil asal ataukah harus relokasi. Pemetaan lokasi dan membuat masterplan desa bersama masyarakat juga merupakan bentuk terapi kelompok untuk keluar dari trauma. Metode konstruksi, kebutuhan tenaga tukang, waktu bertukang juga perlu disepakati bersama. Pada rembug kelompok kecil, dibicarakan desain menyangkut skala hunian tunggal, mulai dari bentuk atap sampai sistem sanitasi. Perlu diingat bahwa proses fasilitasi juga berfungsi sebagai sarana edukasi, mulai dari pengenalan bangunan tahan gempa sampai penggunaan kakus dengan septic tank.<br /> <br /><a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjT3AXLwdml6oXLzkZfQ_VaCDaV_Zj8MNGgeeSz7RzVzx1-olL-s6hj5UfYC5l4aFr8KTG0Gh4DFSS4rxO6ifNejqkmwcvH5B7t3wiyzN_lCfLgslNPB_3Gm08NCR12N2DzK9C9hFEHoj0/s1600-h/simulasi_dua_persil_bersebelahan.jpg"><img style="float:left; margin:0 10px 10px 0;cursor:pointer; cursor:hand;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjT3AXLwdml6oXLzkZfQ_VaCDaV_Zj8MNGgeeSz7RzVzx1-olL-s6hj5UfYC5l4aFr8KTG0Gh4DFSS4rxO6ifNejqkmwcvH5B7t3wiyzN_lCfLgslNPB_3Gm08NCR12N2DzK9C9hFEHoj0/s200/simulasi_dua_persil_bersebelahan.jpg" border="0" alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5076563412993833874" /></a>Dalam fasilitasi desain, diperlukan gambar yang komunikatf, menarik dan dilengkapi oleh model tiga dimensi yang bisa dibongkar-pasang oleh masyarakat sendiri. Pada keputusan-keputusan tertentu, pertemuan antara laki-laki dan perempuan perlu dipisahkan. Hal ini perlu untuk merumuskan bukan hanya kebutuhan mereka yang berbeda, tetapi juga kebutuhan kelompok rentan mengingat sensitivitas mereka akan kelompok ini juga berbeda. Seringkali kelompok rentan (manula, yatim/piatu, orang sakit dan diffable, orang tua tunggal) sulit untuk dikumpulkan, sementara waktu dan tenaga tidak memungkinkan untuk menemui mereka satu persatu.<br /> <br /><a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgIhMjbCZ6K9qCMT1oZZ7ljHjzfudP7yDNxkPrHIlRAdD9QnwgJuV-Hftsp6Z-JQT6sl9SnyH_rSOpATy3cYa_8mPngRp72oWtzR3xqcSIMTiON3JQwZjOiiaEJ-0pnr0ZT2rQ5aS-ob9M/s1600-h/mempertemukan_tukang_bangunan_dan_pemilik.jpg"><img style="float:right; margin:0 0 10px 10px;cursor:pointer; cursor:hand;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgIhMjbCZ6K9qCMT1oZZ7ljHjzfudP7yDNxkPrHIlRAdD9QnwgJuV-Hftsp6Z-JQT6sl9SnyH_rSOpATy3cYa_8mPngRp72oWtzR3xqcSIMTiON3JQwZjOiiaEJ-0pnr0ZT2rQ5aS-ob9M/s200/mempertemukan_tukang_bangunan_dan_pemilik.jpg" border="0" alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5076563894030171042" /></a>Suatu keberhasilan awal telah dicapai ketika sebuah kelompok melahirkan konsensus bersama akan kualitas hidupnya. Namun persoalan belum terjawab sepenuhnya. Sebuah pertanyaan besar menanti: bagaimana memastikan bahwa konsensus yang dihasilkan akan dilaksanakan oleh anggota kelompok dan dihormati oleh pihak luar? Pekerjaan rumah kita yang pertama adalah pemerintah mempunyai visi, misi dan tahapan yang jelas dalam penanganan bencana.<br /><br />Catatan: <br />Semua foto milik penulis, diambil di Lamno, Aceh Jaya. Keterangan foto ada pada nama file foto.<br /><br /><span style="font-style:italic;">*Selama 2005-2006 bekerja untuk sebuah organisasi internasional dalam rekonstruksi Aceh dan Yogyakarta. Saat ini bekerja di Bandung untuk sebuah pusat studi. Dapat dihubungi melalui gelapnyawang4@gmail.com.</span><br /><br />**Lihat penelitian akan 5 pendekatan rekonstruksi pasca gempa Gujarat Januari 2001 dalam: <span style="font-weight:bold;">Barenstein</span>, Jennifer Duyne. <span style="font-style:italic;">Housing reconstruction in post-earthquake Gujarat</span>. Humanitarian Practice Network, 2006. <br /><br /><br /></span><div class="blogger-post-footer">http://my.yahoo.com, http://reader.google.com, http://360.yahoo.com</div>Perhimpunan Rakyat Pekerjahttp://www.blogger.com/profile/13408951774927289203noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1105056731449200458.post-31795763318192031662007-06-15T14:32:00.000+07:002007-06-15T14:40:41.605+07:00Wajib Militer, Siapa Takut?<span style="font-style:italic;">Willy Aditya*</span><br /><br />Wacana wajib militer akhir-akhir ini menjadi santer didiskusi dalam beragam respon dan argumentasi di kalangan masyarakat sipil. Rancangan Undang-undang Komponen Cadangan Strategis Departemen Pertahanan berangkat dari argumentasi! bahwa UU No 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara mengatur Tentara Nasional Indonesia sebagai komponen utama pertahanan, yang dilengkapi dengan komponen cadangan dan pendukung. Dengan rujukan legislasi diataslah dirasa perlu wajib militer sebagai komponen cadangan strategis. Banyak penolakan bermunculan dari kalangan aktivis lembaga swadaya masyarakat yang memaknai wajib militer, tidak penting! <br /><span class="fullpost"><br /><span style="font-weight:bold;">Kesenjangan Teori dan Strategi Pertahanan</span><br />Munculnya RUU Komponen Cadangan Strategis mencerminkan perubahan parsial-transaksional dalam sistem pertahanan Indonesia dewasa ini. Perubahan tersebut bukanlah perubahan transformatif dalam kerangka strategic defence review. Strategic defence review sebagai cetak biru reformasi sektor pertahananlah yang akan melahirkan kebijakan-kebijakan turunan, seperti kebijakan pembentukan wajib militer. Perubahan tersebut seharusnya menggunakan pendekatan yang integral antara demokrasi, keaman! an dan pembangunan. Berangkat dari tiga elemen terakhir itulah dirumuskan national interest core value dibuat. National interest core value biasanya merumuskan apa yang disebut sebagai kepentingan nasional, isinya berupa nilia-nilai politik, ekonomi, sosial, hukum dan sebagainya.<br /> <br />Rumusan national interest core value ini penting untuk mendefinisikan apa itu kepentingan nasional Indonesia. Berangkat dari definisi kepentingan nasional maka dirumuskanlah kerangka kerja nasional sektor keamanan. Kerangka kerja ini merupakan dasar untuk menyusun strategi keamanan nasional, yang meliputi kebijakan luar negeri, ekonomi, sosial dan pertahanan. Setelah itu baru disusun strategi pertahanan.<br /><br />Strategi pertahanan berupa rumusan peran dan fungsi pertahanan negara, sebagai landasan membangun doktrin, postur, komponen utama, komponen cadangan dan komponen pendukung keamanan.<br /><br />Konsep Sistem Pertahanan Militer dan Nirmiliter, komponen cadangan berfungsi melin! dungi dan memelihara keamanan nasional. Hal ini merujuk pasal 30 Undang-undang Dasar 1945. Sishankamrata meletakkan TNI dan kepolisian Republik Indonesia sebagai kekuatan utama. Sedangkan rakyat sebagai kekuatan pendukung. Pembinaan dan penggunaan komponen cadangan diarahkan kepada kesadaran jatidiri bangsa untuk menumbuhkan semangat dan kekuatan nyata bela negara. Atas dasar pilihan inilah gagasan wajib latihan militer di Indonesia mendapat legitimasi yuridis. <br /><br />Dalam teori pertahanan, wajib militer dikenal dengan istilah compulsory military service. Istilah ini dipakai di Singapura, Iran, dan Amerika Serikat. Sedangkan tetangga kita, Malaysia, menggunakan istilah program latihan khidmat negara.<br /> <br />Ada beberapa alasan yang mendasari wajib militer ini. <span style="font-style:italic;">Pertama</span>, pembentukan semangat patriotisme di kalangan generasi muda. <span style="font-style:italic;">Kedua</span>, sebagai komponen cadangan pertahanan negara, dimana menurut modern defence jumlah tentara haruslah terbatas, memiliki keahlian tinggi (expert dan profesional). Tentara berfungsi sebagai special force yang dilengkapi dengan persenjataan high technology. <span style="font-style:italic;">Ketiga</span>, wajib militer diterapkan dalam kondisi perang, yang membutuhkan mobilisasi pasukan dalam skala besar. Hal ini acap dilakukan Amerika Serikat, dengan konsep concription seperti dalam Perang Dunia II. Concription berhasil membentuk citizen soldier, hingga berhasil membebaskan Eropa dari ancaman ‘setan fasisme’. Concription dibentuk tidak hanya semata-mata atas dasar instruksi negara, tetapi juga atas dasar sukarela dari warga negara. Citizen soldier melibatkan warga negara yang memiliki pekerjaan tetap, cukup umur, juga pada warga negara yang akan berpergian keluar negeri.<br /><br />Demokrasi Indonesia yang masih muda dan baru saja melewati masa otoritarianisme menuntut penataan ulang hubungan sipil-militer melalui legislasi. Penataan ini haruslah mendetail dengan sebuah mekanisme yang baku. Otoritas politik sipil yang lahir melalui pemilihan umum harus menjadi dasar penataan ini. Dalam demokrasi yang muda inilah hubungan sipil-militer diwarnai ketidakpercayaan oleh masing -masing pihak. Kaum sipil selalu curiga akan kembalinya militer ke panggung politik, baik secara formal ataupun informal. Sedangkan militer masih beranggapan sipil lemah dalam manajemen, disiplin, pertahanan dan keamanan. Kalau alasan-alasan ini masih terus dikedepankan, maka demokrasi kita yang masih muda ini akan kembali teraborsi oleh para aktornya sendiri. <br /><br />Samuel P. Huntington dalam tulisannya The Soldier and the State, mendefenisikan otoritas politik sipil atas militer sebagai pemberian kekuasaan secukupnya pada profesional militer yang kompeten melalui kebijakan yang ditentukan penguasa sipil. Secara akademis, penerapan konsep ini berhubungan dengan negara yang diperintah oleh pejabat yang terpilih secara demokratis.<br /> <br />Konsep otoritas politik sipil atas militer tidak hanya berkembang di kalangan pemikir liberal. Kalangan kiri seperti Mao Tse Tung memiliki konsep yang mirip dengan semboyan " partai memerintah senjata, dan senjata jangan pernah! diizinkan memerintah partai". Prinsip Mao tersebut mencerminkan keunggulan partai sosialis sebagai komando tertinggi.<br /><br />Sementara Prof. Dr. Yahya A. Muhaimin dalam pidato pengukuhan guru besar Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas gadjah Mada pada 28 September 2005 menyatakan tiga agenda pembinaan pertahanan Indonesia. Agenda itu adalah meningkatkan pertahanan Indonesia, masalah anggaran pertahanan, dan mengembangkan potensi masyarakat sipil dalam bidang pertahanan dan keamanan nasional. Menurutnya, partisipasi masyarakat sipil dalam pertahanan akan meringankan biaya dan memperkuat total defense system.<br /><br />Wajib militer juga bisa dipandang dalam dua ranah yang mendasar, yakni hak dan kewajiban warga negara. Wajib militer sebagai hak dapat dimaknai sebagai upaya negara dalam memberikan dasar-dasar pertahanan sipil dalam keadaan darurat. Sebagai kewajiban, wajib militer bisa diletakkan sebagai wujud partisipasi masyarakat sipil untuk bela negara dan ikhtiar menciptakan TNI yang profesional.<br /><br /><span style="font-weight:bold;">Partisipasi sipil dan Tanggungjawab Negara</span><br />Program wajib militer bukan berarti menciptakan masyarakat yang militeristik, namun untuk membentuk karakter bangsa. Patriotisme dapat dipandang dalam ranah human security, seperti dalam ketahanan pangan, hak asasi manusia, kemandirian ekonomi, dan pembangunan industri nasional. <br /><br />Cetak biru wajib militer tidak boleh didominasi tentara. Keterlibatan masyarakat sipil dalam perumusan nilai ‘patrotisme’ adalah hal mutlak. Hal ini penting untuk menghindari penyalahgunaan wajib militer untuk penyebaran ideologi militerisme. Dengan demikian, wajib militer haruslah dibatasi pada ranah keahlian tehnis pertahanan saja.<br /> <br />Wajib militer juga sangat penting untuk membantu korban bencana alam, salah fungsi militer di luar perang. Jerman mempraktekkan ini, dimana komponen wajib militer selama satu tahun diarahkan langsung untuk penaganan bencana dan kecelakaan, termasuk pemadaman kebakaran. Fasilitas militer, seperti helikopter, pesawat dan truk digunakan peserta wajib militer untuk evakuasi penduduk. Merujuk pada situasi Indonesia yang rentan bencana alam dan kecelakaan maka pola ini menjadi signifikan untuk dilakukan.<br /> <br />Dalam mengelola cadangan strategis, Indonesia tertinggal oleh dua negara tetangga, Malaysia dan Singapura. Singapura sudah menerapkan wajib militer sejak tahun 1976, sementara Malaysia mulai menerapkan wajib militer pada 2002.<br /><br />Wajib militer dapat digunakan negara dalam memenuhi hak ekonomi warganya. Di Iran contohnya. Negara ini mewajibkan kerja sosial warganya yang tidak melanjutkan pendidikan SMU dan perguruan tinggi melalui program wajib militer. Hal yang sama juga diterapkan oleh Korea Selatan. Korea selatan mewajibkan pencari kerja harus sudah mengikuti wajib militer.<br /> <br /><span style="font-weight:bold;">Kontrol Sipil</span><br />Gagasan wajib latihan militer bisa berjalan seiring dengan reformasi TNI. Wajib militer bisa menjadi alat yang efektif untuk memangkas bisnis TNI dan mendorong TNI lebih profesional. Sebab, untuk membangun tentara profesional, TNI tidaklah boleh berbisnis. TNI tidak boleh mencari uang dari luar anggaran negara.<br /><br /> Berkaitan dengan postur TNI yang besar, apakah masyarakat sipil bisa bernegosiasi dengan TNI, untuk mengurangi rekruitmen tentara baru dan diganti dengan wajib militer? Jika langkah ini bisa ditempuh, wajib militer bisa menjadi metode yang efesien dalam menata ulang postur pertahanan negara. Sebab, selama ini TNI membutuhkan biaya Rp. 40 juta untuk merekrut satu orang personil TNI. Sementara untuk membangun partisipasi seorang warga melalui wajib militer, hanya dibutuhkan Rp. 30 juta per orang.<br /><br />Kekawatiran sebagaian orang dari kalangan masyarakat sipil akan penyalahgunaan wajib militer nampaknya perlu dijawab. Kekawatiran itu bisa dihil! angkan dengan menguatkan otoritas sipil atas militer. Sipillah yang boleh mengatur dan memutuskan hal-hal yang berkaitan dengan wajib militer, anggaran, sistem persenjataan, pengerahan pasukan dan aset militer. ***<br /><br /><span style="font-style:italic;">*Mahasiswa Program <span style="font-style:italic;"><span style="font-weight:bold;">Master on Defence and Security Studies</span></span> ,ITB-Cranfield University UK dan anggota PRP</span><br /></span><div class="blogger-post-footer">http://my.yahoo.com, http://reader.google.com, http://360.yahoo.com</div>Perhimpunan Rakyat Pekerjahttp://www.blogger.com/profile/13408951774927289203noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1105056731449200458.post-37497361944563477932007-06-15T13:48:00.000+07:002007-06-15T14:25:13.006+07:00Kiri Kanan Nasionalisme Indonesia<center><span style="font-style:italic;"><span style="font-weight:bold;">(Sebuah refleksi perjalanan nasionalisme Indonesia dari masa ke masa)</span></span></center><br /><br /><span style="font-style:italic;">Sapto Raharjanto*</span><br /><br /><span style="font-style:italic;">Revolusilah yang melahirkan negara Indonesia, melahirkan bangsa Indonesia, nasion Indonesia, menghapuskan penjajahan berabad, dan memberikan kembali harga dan nilai dari puluhan juta umat manusia di atas buminya. Dia telah mengubah peta kekuasaan, menambahkan paling sedikit satu kekayaan dalam pikiran umat manusia sedunia.</span> <span style="font-style:italic;"><span style="font-weight:bold;">(Pramoedya Ananta Toer)</span></span><br /><span class="fullpost"><br />Pada dasarnya apa yang dimaksud dengan nasionalisme, terutama didalam konteks nasionalisme Indonesia, maka coba kita flash back kembali pada era kolonialisme yang tak lain adalah anak dari proses kapitalisme sendiri yang jelas membutuhkan suatu koloni-koloni baru baik untuk pencarian kekayaan alam, maupun untuk pemasaran suatu hasil produksi dari proses kapitalisme,.dalam hal ini kemudian kita tarik sebuah benang merah pada saat itu, bahwasannya ada suatu proses <span style="font-style:italic;"><span style="font-weight:bold;">penghisapan</span></span>, (Exploitation De’lhhome par lhhome), yang sangat luar biasa dan dilakukan oleh kaum imperialis selama kurang lebih 350 tahun, dan dari suatu proses penghisapan inilah kemudian muncul apa yang dinamakan <span style="font-style:italic;"><span style="font-weight:bold;">sebuah cita-cita untuk bisa membebaskan diri dari proses penghisapan ini.</span></span> Baik itu secara individu, golongan, maupun secara kolektif, tetapi pada dasarnya adalah sebuah semangat untuk bisa membebaskan diri dari kaum penjajah. Hal inilah yang kemudian banyak mengilhami tokoh-tokoh pergerakan nasional ( Soekarno, Hatta, Malaka, Sjahrir, Semaoen) dll yang merupakan golongan yang bisa menikmati berbagai fasilitas pendidikan sebagai hasil dari politik etis yang memungkinkan untuk mengkaji dan menganalisa ideologi-ideologi besar dunia seperti, Marxisme, Nasionalisme, Kapitalisme, dan lain-lain. Untuk kemudian melakukan sebuah pergerakan, ya sebuah gerakan untuk menuju cita-cita kemerdekaan Indonesia.<br /> <br />Proses gerakan untuk mencapai sebuah cita-cita kemerdekaan ini berlanjut pada era fasisme Jepang, meskipun masih banyak perdebatan yang terjadi disana seperti adanya indikasi dari tokoh-tokoh pergerakan nasional yang menjadi komprador-komprador Jepang, serta perdebatan-perdebatan lainnya di seputar jaman Jepang, tetapi perjuangan tersebut terus berlanjut terutama untuk persiapan kemerdekaan Indonesia, disinilah berbagai macam perdebatan baik ideologi dan politik berlangsung guna mengkonsep bagaimana mengatur negeri ini kelak setelah merdeka,…<br /><br />Puncaknya pada revolusi 17 Agustus ketika teks proklamasi kemerdekaan Indonesia dibaca dan disiarkan ke dunia internasional,…maka semenjak itulah kita telah menggenggam sebuah cita-cita yang sejak lama kita idam-idamkan yaitu kemerdekaan. Dimana kemudian para founding leader kita menyusun sebuah manifesto politik yang menegaskan mengenai sebuah cita-cita dari pendirian republik ini yaitu: <span style="font-style:italic;"><span style="font-weight:bold;">Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan diatas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan peri-kemanusiaan dan peri-keadilan.</span></span><br /><br /><span style="font-style:italic;"><span style="font-weight:bold;">Dan perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat yang berbahagia dengan selamat sentausa mengantarkan rakyat Indonesia kedepan pintu gerbang kemerdekaan Negara Indonesia, yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.<br /></span></span><br /><span style="font-style:italic;"><span style="font-weight:bold;">Atas berkat rahmat Alah yang maha kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia dengan ini menyatakan kemerdekaannya.<br /></span></span><br /><span style="font-style:italic;"><span style="font-weight:bold;">Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada : Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, Persatuan Indonesia, dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.</span></span><br /><br />Dari sebuah landasan manifesto politik inilah kemudian dijalankan sebuah model pemerintahan yang sangat populis terhadap nilai-nilai kerakyatan terutama pada periode tahun 1945-1965. Dimana selama masa 20 tahun ini, populisme sangat dominan dan semangat antiimperialisme serta nasionalisme ekonomi menjadi tema-tema pokok dalam pembicaraan politik. Tema-tema itu pertama dinyatakan dalam penolakan revolusioner terhadap usaha-usaha pihak Belanda untuk mengembalikan kekuasaan kolonialnya setelah tahun 1945.<br /><br />Didalam periode tersebut kita juga bisa melihat bagaimana cara masalah politik di luar Indonesia dibicarakan terutama pada periode 1945-1965 rakyat Indonesia melihat negara Indonesia menganut sikap bebas aktif dalam Perang Dingin dan sebagai pemimpin didalam perjuangan semesta melawan kolonialisme dan neokolonialisme. Hampir semua penganut kelompok politik merasa bangga bahwa Indonesia menjadi tuan rumah konferensi kepala-kepala pemerintahan Asia-Afrika (konferensi Asia Afrika) yang diadakan di Bandung, tahun 1955. Selama tahun-tahun awal 1960-an sebagian besar mereka sangat antusias mendukung peranan Indonesia dalam apa yang disebut Sukarno sebagai perjuangan NEFOS (New Emerging Forces) yakni kekuatan-kekuatan baru yang mewakili keadilan dan pembebasan melawan OLDEFOS (Old Established Forces) yakni kekuatan-kekuatan tua dan mapan yang bersifat imperialistis dan neokolonialistis. <span style="font-style:italic;">(OLDEFOS adalah kelompok negara-negara yang kapitalis, imperialis, termasuk di dalam kelompok ini antara lain Inggris, Amerika, Belanda, dan lain-lain. NEFOS adalah kelompok negara-negara terjajah (dan bekas jajahan) yang berusaha melepaskan diri dari pengaruh OLDEFOS. OLDEFOS adalah sebagai kelompok negara-negara penjajah (kolonial) dan NEFOS adalah kelompok negara-negara yang berjuang untuk merdeka dan negara yang belum lama merdeka. Indonesia sendiri secara tegas menyatakan dirinya termasuk dalam kelompok NEFOS).</span><br /><br />Iklim demokrasi dan berbagai kebijakan populis ini seperti UUPA 1960, serta berbagai hal lain sayang harus terhenti oleh sebuah tragedi nasional 1 Oktober (GESTOK) yang diikuti oleh sebuah proses kudeta secara perlahan tapi pasti oleh Soeharto yang di dukung oleh berbagai kekuatan-kekuatan politik pendukungnya termasuk CIA, proses pergantian kepemimpinan nasional pada saat itu juga diwarnai oleh sebuah horor politik yang mengakibatkan kurang lebih 3000.000 orang harus meregang nyawa. <span style="font-style:italic;">(Khusus untuk peristiwa politik ini, setidaknya ada lima teori yang dianggap menjadi latar belakang, yaitu (i) PKI sebagai dalang; (ii) masalah internal TNI AD; (iii) Soekarno yang paling bertanggung jawab; (iv) Soeharto sebagai orang dibalik peristiwa tersebut; (v) Jaringan intelejen dan CIA.(Lihat buku Palu Arit di ladang tebu, karya Hermawan Sulistyo)</span><br /><br />Entah siapa yang harus bertanggung jawab atas penghentian paksa ide-ide populis ini??? Dimana ide-ide seperti UUPA, UUPBH, Nasionalisasi asset asing, yang telah dilakukan di Indonesia guna memenuhi amanat dan cita-cita dari pendirian republik ini sesuai yang tercantum didalam pembukaan UUD 1945, saat ini telah banyak dilakukan di negara-negara kawasan Amerika Latin seperti Venezuela, Bolivia, Nicaragua dll, dimana seorang Chaves sendiri pernah mengatakan bahwa kita harus kembali kepada semangat Bandung,…ya semangat Bandung (Konferensi Asia-Afrika). Setelah tragedi nasional tersebut maka dimulailah sebuah rezim dibawah kekuasaan militer yang memaknai sebuah arti nasionalisme adalah sebuah ketaatan warga negara terhadap setiap kebijakan-kebijakan negara. Meskipun hal tersebut pada akhirnya hanya terlihat sebagai sebuah ketertundukan rakyat terhadap dominasi lembaga negara dengan berbagai alat penekannya (ABRI, BIROKRASI, GOLKAR). Jadi nasionalisme disini bukan lagi sebuah komitmen untuk memperjuangkan amanat dan tujuan perjuangan pembebasan nasional serta amanat revolusi 17 Agustus serta UUD 1945.<br /><br />Pondasi untuk mendukung tegaknya rezim politik Orde Baru sendiri adalah sebuah konsensus nasional yang intinya adalah perlunya sebuah stabilisasi kehidupan sosial-politik, rehabilitasi ekonomi, yang diklaim rusak akibat permainan politik selama berkuasanya rezim politik demokrasi terpimpin. Dengan adanya konsensus nasional tersebut mulai dicanangkan pembangunan ekonomi politik dengan lebih berorientasi pada kapitalisme. Konsensus dari dari para pendukung rezim politik Orde Baru secara tegas menolak orientasi pembangunan yang mengarah pada populisme.<br /><br />Secara teoritik, bentuk negara di bawah kekuasaan Orde Baru adalah sebuah negara otoriter birokratis. Dalam praktek politiknya pemerintahan Orde Baru menerapkan tiga hal: <span style="font-style:italic;">Pertama</span>, melakukan proses ideologisasi, yaitu menerapkan ideologi tunggal negara. Pada fase ini berkembang jargon-jargon yang sifatnya Top down, seperti ide pembangunanisme. <span style="font-style:italic;">Kedua</span>, kalaupun terdapat protes dari adanya ideologisasi tersebut, masih menyisakan ketidaksepakatan di tingkat massa rakyat, yang berlaku kemudian adalah proses stigmatisasi dengan mengembangkan jargon politik: anti pembangunan, anti ideologi negara (Pancasila) dan berpaham komunis dan lain sebagainya. Sedangkan yang <span style="font-style:italic;">ketiga</span> adalah bila terdapat perlawanan yang keras maka pemerintah dengan segera menggunakan pendekatan keamanan. Karena itu bukanlah kebetulan jika bentuk negara otoriter birokratis ini didukung penuh oleh kekuatan militer.<br /><br />Semenjak saat itulah perspektif nasionalisme kita seakan telah mengalami sebuah proses pembalikan 180 drajat, dari yang semula nasionalisme yang sangat populis dan penuh dengan ide-ide kerakyatan menjadi sebuah proses hegemoni dan ketertundukan supremasi sipil terhadap lembaga negara,…kesadaran kritis dibungkam,…derasnya arus investasi modal asing beserta berbagai produk kebudayaannya ikut meramaikan era ini dikarenakan adanya sebuah legitimasi serta perlindungan dari penguasa mulai dari rezim orba sampai saat ini era reformasi yang sudah hampir 1 dasawarsa <span style="font-style:italic;">(adanya UUPMA serta berbagai penandatanganan kontrak karya adalah salah satu contoh mutlak dari adanya sebuah legitimasi negara terhadap investasi modal asing).</span><br /> <br />Dalam hal ini ketika kita coba untuk mengkaji kembali mengenai kapitalisme global yang terjadi saat ini yang cenderung mengikis rasa kemanusiaan dan frame kebangsaan karena yang terpenting bagi kaum imperialis global ialah bagaimana sebuah pengusaan negara bahkan bagaimana penguasaan dunia yang tanpa batas oleh sebuah dominasi pasar,…dalam perspektif Marxisme yang mengungkap bahwasannya hal yang melekat terhadap kapitalisme ialah adanya meerwarde/nilai lebih yang hanya dinikmati oleh beberapa kelompok kartel besar layaknya sebuah sistem oligarkhi, proses ini bisa dilakukan dengan berbagai cara, seperti penjajahan, baik klasik maupun modern, Soekarno pun pernah mengatakan bahwa akan ada bahaya dari imperialisme modern yang sangat lebih berbahaya dari model penjajahan dalam bentuk klasik,…<span style="font-style:italic;">(__akibatnya mengalirlah kapital itu keluar, istimewa ke negeri-negeri lain yang belum maju ekonominya dan miskin akan modal, misalnya aliran kapital Prancis dan Inggris ke Rusia dan kapital Belanda ke Timur, aliran kapital keluar ini tidak hanya berupa uang saja. Negeri negeri yang mengeluarkan kapital itu juga mengirimkan mesin-mesin, mendirikan pabrik-pabrik, membikinkan jalan-jalan kereta api dan pelabuhan-pelabuhan, dan lain-lain. Dalam banyak hal bagi penanam modal lebih menguntungkan memasukkan uangnya dalam onderneming-onderneming di negeri-negeri yang terbelakang ekonominya, dimana tenaga buruh murah dan keuntungan tidak dibatasi oleh undang-undang perburuhan dan sebagainya,dan inilah empat sifat imperialisme modern, pertama Indonesia tetap menjadi negeri pengambilan bekal hidup, kedua Indonesia menjadi negeri pengambilan bekal-bekal untuk pabrik-pabrik di Eropa, ketiga Indonesia menjadi negeri pasar penjualan barang-barang hasil dari macam-macam industri asing, keempat Indonesia menjadi lapangan usaha bagi modal yang ratusan, ribuan jutaan rupiah jumlahnya,</span> <span style="font-weight:bold;"><span style="font-style:italic;">Soekarno dalam pidato pembelaan di depan pengadilan kolonial Belanda. Bandung 1930)</span></span><br /><br />So,…apakah kita akan diam saja dan hanya menjadi sub ordinat dari negara yang saat ini hanya menjadi komprador imperialisme modern dengan perspektif nasionalismenya sebagai sebuah paham ketaatan terhadap segala kebijakan negara, atau dengan perspektif nasionalisme sebagai sebuah semangat untuk mewujudkan masyarakat yang bebas dari proses exploitation de lhomme par lhomme serta exploitation nation par nation <span style="font-style:italic;">(yang terjadi sebagai imbas dari proses kapitalisme modern)</span> sesuai dengan salah satu amanat dari pembukaan manifesto politik bangsa Indonesia yaitu UUD 1945 yang secara tegas menyebutkan <span style="font-style:italic;"><span style="font-weight:bold;">Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan diatas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan peri-kemanusiaan dan peri-keadilan.</span></span><br /> <br />,…Entahlah,.. kapan jaman edan ini berakhir??....<br /><br /><span style="font-style:italic;">*Mahasiswa jurusan Sejarah Universitas Jember dan Ketua Biro Penerbitan Centre of Local and Politics Studies (CoLEPS) Jember</span><br /></span><div class="blogger-post-footer">http://my.yahoo.com, http://reader.google.com, http://360.yahoo.com</div>Perhimpunan Rakyat Pekerjahttp://www.blogger.com/profile/13408951774927289203noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1105056731449200458.post-60080170698621207052007-06-15T13:45:00.000+07:002007-06-15T13:48:32.340+07:00Setahun Lumpur Lapindo: Yang Salah Masih Melenggang<span style="font-style:italic;">Willy Aditya*</span><br /><br />Setahun sudah luapan lumpur panas PT Lapindo Brantas memorak-porandakan Sidoarjo, Jawa Timur. Lumpur itu talah menelan puluhan pabrik, ratusan hektare sawah, dan permukiman penduduk. Demikian juga tambak-tambak bandeng, harus berhenti beroperasi. Jalur transportasi di daerah itu juga terganggu. Nilai kerugian semua itu melampui Rp 7 triliun.<br /><span class="fullpost"><br />Pada November 2006 keluarlah Keputusan Presiden Nomor 13 Tahun 2006 tentang Penanggulangan Dampak Lumpur Lapindo. Keppres itu mewajibkan PT Lapindo Brantas bertanggung jawab atas semua dampak semburan lumpur tersebut. <br /> <br />Dana yang diperlukan untuk penanganan lumpur panas diperkirakan mencapai US$ 140 juta sampai US$ 170 juta. Selain itu, anggaran pemindahan masyarakat diperkirakan mencapai Rp 1 triliun sampai Rp 2 triliun. Terkait dengan itu, kelompok usaha Bakrie Brothers, salah satu pemilik saham PT Lapindo, telah mengucurkan pinjaman US$ 30 juta kepada perusahaan itu. <br /> <br />Bagaimanakah semburan lumpur panas bersuhu 60 derajat celcius itu bisa terjadi? Dirjen Mineral dan Batu Bara Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Felix Sembiring menyatakan ada tiga diagnosis penyebab luapan lumpur: Kesalahan teknis pengeboran, kesalahan manusia, dan proses alam. <br /> <br />Sedangkan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia menyatakan semburan lumpur Lapindo adalah bentuk malapraktik di bidang pertambangan. Menurut Direktur Eksekutif Walhi Chalid Muhammad, pemerintah gagal mengawasi aktivistas pertambangan. <br /> <br />Lapindo punya pendapat berbeda: semburan lumpur itu terjadi karena efek gempa di Yogyakarta pada 27 Mei 2006. Namun banyak kalangan yang membantah pernyataan tersebut. Bahkan, Ketua Komisi II DPR RI Sony Keraaf mengatakan pernyataan Lapindo itu merupakan manipulasi fakta. <br /> <br />Menurut catatan Walhi, seperti dikutip vhrmedia.net, kasus lumpur Lapindo di Sidoarjo hanyalah satu dari sederetan kebocoran pipa pengeboran gas di Indonesia. Sebelumnya, pipa milik PT China National Offshore Oil Corporation yang beroperasi di Teluk Jakarta pernah bocor dan meledak. Gas hydrogen sulphide (H2S) PT Petrokimia yang beroperasi di Gresik, Jawa Timur, meledak dan mengakibatkan kebakaran hebat. Selain itu, pipa PT Caltex di Riau pernah meledak dan mengakibatkan kebakaran rumah penduduk. <br /> <br />Pada 18 Mei 2006, 11 hari sebelum semburan gas, PT Lapindo Brantas sudah diingatkan agar memasang pipa selubung oleh rekanan proyek. Pipa harus dipasang sebelum pengeboran mencapai formasi Kujung (lapisan tanah yang diduga mengandung gas atau minyak) pada kedalaman 2.804 meter. Namun, Lapindo belum memasang casing berdiameter 5/8 inci itu, walau pengeboran sudah mencapai kedalaman 2.590 meter. Padahal, pemasangan casing merupakan syarat keselamatan yang harus dipatuhi (Kompas, 19/6/06). <br /> <br />Tampaknya para pemilik modal PT Lapindo Brantas berdiri pongah di tengah penderitaan masyarakat. Belum ada tindakan pemerintah terhadap perusahaan yang melanggar hak-hak warga tersebut. <br /> <br />Fenomena semburan lumpur panas di Sidoarjo hanyalah satu contoh kecil betapa masalah lingkungan disepelekan oleh negara. Hadi S Alikodra, Guru Besar Fakultas Kehutanan Iinstitut Pertanian Bogor mengatakan, “Saat ini persoalan lingkungan masih sebatas jargon-jargon yang tenggelam setelah seminar, rapat kerja, ataupun workshop. Agenda lingkungan yang disiapkan Kementerian Lingkungan Hidup sering kali dianggap angin lalu. Akibatnya, kerusakan lingkungan terus meningkat dan sepertinya manusia tanpa daya untuk mencegah dan menghentikannya.” <br /> <br />Pernyataan itu diperkuat Walhi Jawa Timur yang menyayangkan sikap pemerintah yang menyederhanakan masalah lingkungan hidup pada kasus semburan lumpur panas Lapindo di Sidoarjo. Padahal, mendapatkan lingkungan yang sehat merupakan hak asasi manusia.<br /> <br />Kerusakan lingkungan fisik mengganggu kesehatan warga. Lily Pudjiastuti, anggota tim ahli Institut Teknologi Surabaya, mengatakan lumpur panas Lapindo bisa menyebabkan infeksi saluran pernapasan dan iritasi kulit. Lumpur tersebut juga mengandung bahan karsinogenik yang bila menumpuk di tubuh bisa menyebabkan penyakit serius seperti kanker. Jika masuk ke tubuh anak dengan jumlah berlebihan, bisa menurunkan kecerdasan. Dari 10 kandungan kimia yang dijadikan parameter, 9 di antaranya telah jauh melampaui baku mutu limbah cair sesuai dengan Surat Keputusan Gubernur Jawa Timur. Kandungan logam berat (Hg), misalnya, mencapai 2,565 mg/liter Hg. Padahal, baku mutunya 0,002 mg/liter Hg. <br /> <br />Sedangkan menurut sampel lumpur yang dianalisis Laboratorium Uji Kualitas Air Dinas Pekerjaan Umum Bina Marga Jawa Timur, lumpur itu mengandung fenol. Menurut Guru Besar Kesehatan Lingkungan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Airlangga Prof Mukono, fenol merupakan bahan berbahaya bagi kesehatan. Jika fenol mengenai kulit, dapat membuat kulit terbakar dan gatal-gatal. Fenol bisa menyebabkan sel darah merah pecah, jantung berdebar, dan gangguan ginjal.<br /> <br />Pada Agustus 2006 Greenomics Indonesia memperkirakan kerugian akibat lumpur Lapindo Rp 33 triliun lebih. Perinciannya, biaya penanganan sosial dan pembersihan lumpur Rp 7,96 triliun; nilai ekologi yang hancur Rp 4,63 triiun; biaya restorasi lahan agar menjadi produktif Rp 3,97 triliun; kerugian atas pertumbuhan ekonomi regional kira-kira Rp 4,34 triliun; biaya pemulihan iklim bisnis Rp 5,79 triliun; biaya kehilangan kesempatan Rp 2,88 triliun; dan kerugian karena ketidakpastian ekonomi Rp 3,7 triliun. <br /> <br />Ironis! Mereka yang seharusnya bertanggung jawab penuh atas sebuah tragedi malah melenggang, seolah tak tersentuh hukum. Enam tersangka penyebab lumpur yang diperiksa kepolisian hanyalah para operator lapangan. Sementara para pemilik dan direktur perusahaan tak juga diperiksa polisi. <br /> <br />Anehnya, Fadhilah Supari menyatakan lumpur panas tidak menimbulkan dampak kesehatan dan korban. Padahal, menurut pengamatan aktivis Walhi Jawa Timur, di sekitar lokasi semburan lumpur ditemukan warga yang menderita sesak nafas. Jadi, apakah pemerintah hendak menganggap enteng dampak lumpur Lapindo?<br /><br /><span style="font-style:italic;">*Ketua Litbang VHR dan anggota PRP</span><br /><br /></span><div class="blogger-post-footer">http://my.yahoo.com, http://reader.google.com, http://360.yahoo.com</div>Perhimpunan Rakyat Pekerjahttp://www.blogger.com/profile/13408951774927289203noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1105056731449200458.post-2998056069845960552007-06-15T12:51:00.000+07:002007-06-15T12:56:15.258+07:00Membandingkan Sistem Pendidikan Indonesia dan Kuba<span style="font-style:italic;">Willy Aditya*</span><br /><br />Membandingkan Kuba dengan Indonesia tentu terdapat banyak perbedaan, baik itu yang fundamental (pokok) maupun yang komplementer. Kuba yang sosialistik (karena di bawah kekuasaan Partai Komunis) tentunya berbeda dari Indonesia yang baru saja melewati satu fase pemerintahan otoriter dan pro-pasar. Karenanya sistem pendidikan kedua negara ini juga berbeda secara fundamental. Sehingga alangkah tidak layak kiranya jika tiba-tiba sistem pendidikan Kuba diterapkan di Indonesia tanpa memperhatikan aspek kesejarahan dan kenyataan faktual di Indonesia. Maka yang paling mungkin dilakukan adalah menemukan relevansi yang kira-kira bisa menjadi pencerahan terhadap sistem pendidikan Indonesia.<br /><span class="fullpost"><br /><span style="font-weight:bold;">Dari Sosialisme ke Neoliberalisme</span> <br />Indonesia di era Soekarno (Orde Lama), sebagaimana Kuba sekarang, merupakan negara yang sarat dengan cita-cita sosialisme. Cita-cita sosialisme ini termasuk juga dalam bidang pendidikan. Statuta Universitas Gadjah Mada (UGM) tahun 1951 sangat tegas menyatakan bahwa tujuan UGM adalah menyokong sosialisme pendidikan. Namun pada tahun 1992, di bawah kekuasaan Orde Baru, statuta ini diganti dengan banyak perubahan pada isinya di mana salah satu perubahannya adalah menghilangkan pasal mengenai tujuan menyokong sosialisme pendidikan Indonesia.<br /><br />Indonesia pada era tersebut sangat mendukung pendidikan sebagai satu alat akselarasi masyarakat menuju masyarakat adil dan makmur sesuai cita-cita UUD 1945. Indonesia bahkan mampu mengekspor guru ke negara tetangga, menyekolahkan ribuan mahasiswa ke luar negeri, dan menyebarkan mahasiswa-mahasiswa ke seluruh penjuru negeri untuk mengatasi buta huruf. Tahun 1960-an terjadi peningkatan luar biasa perguruan-perguruan tinggi yang sekaligus berarti peningkatan jumlah mahasiswa dan pelajar di seluruh negeri. Tenaga-tenaga pengajar diupah dengan layak, bahkan menjadi primadona pekerjaan bagi rakyat. Jargon “study, work, rifle” atau “belajar, berkarya, dan senjata” yang dipakai Kuba sekarang merupakan satu jargon yang juga dipakai oleh beberapa organisasi mahasiswa dan pelajar pada era tersebut. Semangat antikolonialisme setelah lepas dari kolonialisme Belanda dan Jepang diejawantahkan dengan semangat membangun sosialisme, termasuk dalam hal pendidikan. Tidak ada halangan ekonomis yang merintangi seseorang untuk belajar di perguruan tinggi atau sekolah. Diskriminasi dianggap sebagai tindakan kolonialis (seperti dilakukan kolonial Belanda).<br /><br />Rezim berganti, ideologi dan politik pendidikan pun berganti. Awalnya perubahan ideologi dan politik ini belum berubah tajam, sampai suatu hari terjadi krisis minyak dunia pada awal 1980-an, yang membuat negara mengetatkan anggaran. Ketergantungan pada ekspor minyak seketika mendatangkan malapetaka karena harga minyak turun drastis di kala utang luar negeri juga jatuh tempo. Anggaran untuk publik diketatkan termasuk di bidang pendidikan. Seketika rakyat masuk dalam sistem pendidikan pasar yang memperbesar ketimpangan si kaya dan si miskin. Gaji guru tidak lagi mampu mendukung kebutuhan minimal untuk mengajar dengan tekun dan baik. Ekstensifikasi pendidikan berjalan lambat karena keterbatasan anggaran. <br /><br />Ketidakpuasan menggejala pada rakyat, karena akses terhadap pendidikan yang makin berkurang. Sekolah dan perguruan tinggi swasta menggejala karena keterbatasan pemerintah untuk menyediakan sekolah-sekolah baru. Ekstensifikasi pasar ini kemudian diimbangi oleh Orde Baru dengan proses indoktrinasi. Peng-asastunggal-an ideologi Pancasila melalui pengajaran Pancasila dari bangku sekolah dasar sampai perguruan tinggi, penataran P4 bagi pegawai negeri sipil dan militer, pelarangan ideologi-ideologi tertentu untuk dipelajari, pembelokan sejarah, dan banyak doktrinasi lain adalah contoh-contoh proses tersebut. Pada era ini pula mahasiswa dibungkam dengan pembubaran dewan-dewan mahasiswa dan pelarangan mahasiswa berpolitik melalui kebijakan NKK/ BKK.<br /><br />Dalam sistem pendidikan yang ada, berkembanglah ideologi pasar sebagai konsekuensi Indonesia berada dalam peta kapitalisme global. Pendidikan direndahkan posisinya sebagai alat elevasi sosial untuk memperoleh pekerjaan yang lebih baik. Ilmu direndahkan menjadi deretan angka-angka indeks prestasi (IP). Akses masuk semakin terbatas karena formasi sosial tidak memungkinkan warga masyarakat kebanyakan (miskin) menginjak bangku sekolah yang lebih tinggi. Kecenderungan mahasiswa berasal dari kalangan menengah ke atas terus meningkat dari tahun ke tahun. Penelitian majalah Balairung UGM pada tahun 2000 membuktikan terjadi tren penurunan anak buruh, petani, dan anak guru yang menginjak bangku kuliah di UGM. <br /><br />Karena pada saat yang sama indoktrinasi dari negara juga berlangsung, muncul kritik-kritik dari kalangan pengamat pendidikan yang kritis namun liberal yang memandang terjadinya paradoks dalam dunia pendidikan karena sama sekali tidak sesuai dengan perkembangan zaman. Banyak muncul ketidakpuasan dan perlawanan dari dalam kalangan akademisi pendidikan terhadap intervensi negara dalam kurikulum pendidikan. Ketidakpuasan muncul karena mereka menganggap tidak efisien. <br /><br />Ketidakpuasan dan perlawanan dari dalam kampus ini menyemai bibit perlawanan mahasiswa. Pada tahun 1994 misalnya berdiri Dewan Mahasiswa UGM yang tegas menolak korporatisme negara terhadap kampus. Langsung atau tidak langsung, masifnya demonstrasi mahasiswa pada tahun 1998 merupakan imbas dari kebijakan pendidikan yang korporatis dan tidak demokratis di perguruan-perguruan tinggi.<br /><br />“Reformasi 1998” memanglah pas disebut sebagai reformasi. Diakui atau tidak, momen ini merupakan awal perubahan bentuk kapitalisme di Indonesia. Ditandatanganinya letter of intents antara pemerintah Indonesia dan IMF menjadi legitimasi formal bagi kapitalisme untuk mengembangkan neoliberalisme yang berpijak pada tiga program utama, yakni deregulasi ekonomi, liberalisasi, dan privatisasi. Di bidang pendidikan, pada tahun 1999, dengan dana dari Bank Dunia, ditandatangani kesepakatan melakukan pilot project “Otonomi Kampus” pada empat perguruan tinggi negeri utama di Indonesia, yaitu Universitas Indonesia (UI), Universitas Gadjah Mada (UGM), Institut Teknologi Bandung (ITB), dan Institut Pertanian Bogor (IPB). Beramai-ramai akademisi yang kabarnya “reformis” dari empat perguruan tinggi ini mendukung program baru ini. Inilah antitesa dari sistem pendidikan Orde Baru yang mengekang perguruan tinggi melalui korporatisme birokrasi dan kurikulum. Korporatisasi yang berkedok “otonomi perguruan tinggi” dipandang sebagai suatu kemajuan, lebih baik, dan tentunya lebih menjamin prospek yang bagus bagi mereka, misalnya dalam hal fasilitas dan tunjangan sebagai tenaga pengajar. Padahal, inilah era neoliberalisme!<br /><br /><span style="font-weight:bold;">Dari Egalitarianisme ke Militerisme</span><br />Orde Lama merupakan satu fase yang mirip dengan fase pascarevolusi demokratik di Prancis pada 1789. Saat itu di mana-mana muncul semangat egalitarianisme yang mengejawantah dalam masyarakat. Panggilan-panggilan terhadap orang, baik yang sudah berumur maupun belum, disamaratakan dengan sebutan “bung”. “Bung” merupakan pengganti sebutan orang yang tidak mengenal strata kelas, status, dan umur. Semangat ini merupakan refleksi masyarakat terhadap kolonialisme yang membuat masyarakat berkasta-kasta berdasarkan warna kulit, agama, dan asal daerah. Inilah orde di mana semua orang merasa sejajar, tanpa dibedakan warna kulit, keturunan, agama, dan sebagainya.<br /><br />Begitu juga dalam dunia pendidikan. Orde Lama berusaha membangun masyarakat sipil yang kuat, yang berdiri di atas demokrasi, kesamaan hak dan kewajiban antara sesama warga negara termasuk dalam bidang pendidikan. Inilah amanat UUD 1945 yang menyebutkan salah satu cita-cita pembangunan nasional adalah mencerdaskan bangsa. <br /><br />Di dalam kampus muncul kebebasan akademis yang luar biasa, ditandai dengan fragmentasi politik yang begitu hebat di kalangan mahasiswa. Mahasiswa bebas beroroganisasi sesuai dengan pilihan atau keinginannya. Kebebasan berpendapat, memang sempat muncul juga pembredelan pers oleh Soekarno, namun relatif lebih baik dibandingkan masa Orde Baru yang pada suatu waktu (setelah peristiwa demonstrasi mahasiswa 1978) pernah membredel 15 media massa sekaligus. Inilah salah satu era keemasan bagi gagasan dan ilmu pengetahuan di Indonesia. <br /><br />Sebaliknya, di era Orde Baru kebebasan ini sedikit demi sedikit direnggut sampai tak tersisa sama sekali. Membaca buku tertentu bahkan dianggap sebagai tindakan kriminal. Kebebasan berorganisasi dikooptasi dengan adanya organisasi-organisasi yang sudah korporatis pada kekuasaan, sehingga menganalisasi politik mahasiswa. Kebebasan akademis dikekang dengan perlunya izin kegiatan dari pihak yang berwenang. <br /><br />Peristiwa meninggalnya Wahyu Hidayat, praja STPDN, karena kekejaman para seniornya pada tahun 2004 merupakan wujud dari masuknya warna militerisme pada pendidikan di Indonesia. Hal ini adalah bentuk lain dari korporatisme pendidikan yang terjadi di Indonesia. Lembaga pendidikan semacam ini lahir dari rahim rezim militer Orde Baru yang masuk ke ranah sipil. Di perguruan-perguruan tinggi swasta dan negeri, hal ini mewujud dengan adanya resimen mahasiswa. Resimen mahasiswa (menwa) merupakan salah satu unit kegiatan mahasiswa yang berafiliasi langsung ke institusi-institusi militer seperti kodam. <br /><br />Di dalam kelas ataupun birokrasinya, reproduksi sistem ini juga berlangsung. Dosen seringkali dipandang oleh mahasiswa sebagai orang yang ditakuti, berkuasa. Birokrasi perguruan tinggi berkembang begitu kuat tanpa adanya kebebasan berserikat bagi civitas-civitas akademika, kecuali terbatas pada mahasiswa. Namun, bagi karyawan-karyawan nonpengajar di perguruan tinggi, seringkali posisi mereka sangat lemah secara politik dan hukum, seperti halnya kelas pekerja lain di Indonesia. Penelitian pers mahasiswa Mahkamah Fakultas Hukum UGM pada tahun 2000 mengungkapkan sekitar seperempat karyawan UGM merupakan karyawan honorer dengan status tidak jelas dan upah tidak sesuai dengan upah minimum regional (sekarang upah minimum provinsi) yang berlaku. <br /><br /><span style="font-weight:bold;">Seleksi Kelas dalam Pendidikan Neoliberal</span><br />Masuk dalam era neoliberal, seleksi kelas dalam mengakses pendidikan semakin menguat. Ditambah lagi dengan lahirnya UU Sistem Pendidikan Nasional yang baru, yang telah melegalkan pengalihan tanggung jawab negara kepada masyarakat (baca masyarakat pemilik uang). Berbagai kampus, tidak terbatas pada empat kampus pilot project mencari sumber pendanaan baru termasuk dengan memungut lebih untuk mahasiswa-mahasiswa baru. Harian Kompas (18/6/2003) mengungkapkan munculnya model baru penerimaan mahasiswa seperti dengan menambah kuota 10% hingga 20% dari formasi mahasiswa baru jalur reguler dengan tarif mahal, bahkan mencapai Rp 150 juta. <br /><br />Jauh hari sebelumnya, Republika (16/8/2002) menulis, 11,7 juta anak tidak pernah sekolah dan putus sekolah (berumur 10 - 14 tahun) dan 5,2 juta anak usia sekolah tidak mampu membaca, menulis, dan berhitung. Tentunya angka putus sekolah ini semakin jadi tren seperti juga tren angka pengangguran yang terus meningkat yang diakibatkan salah satunya oleh angka putus sekolah karena alasan ekonomi. Republika menyajikan data bahwa hanya 11% tamatan SLTA yang bisa melanjutkan ke jenjang perguruan tinggi. <br /><br />Situasi ini menunjukkan tren angkatan kerja Indonesia pada saat ini bukanlah well-educated dan skilled karena sebagian besar hanyalah lulusan SLTA atau lebih rendah. Selain itu, ternyata lulusan perguruan tinggi Indonesia pun tidak cukup berkualitas. Jacob Nuwa Wea (Menaker) seperti dikutip detik.com (16/4/2002) mengatakan 30% pasar tenaga kerja Indonesia diisi tenaga kerja asing (ekspatriat). Pernyataan ini menandaskan bahwa link and match yang diinginkan kapitalisme dalam sistem pendidikan Indonesia belumlah sepenuhnya terwujud. <br /><br />Anarkisme sistem pendidikan di bawah neoliberalisme menempatkan rakyat sebagai komoditas pendidikan, bukan berfungsi sebagai sarana bagi rakyat untuk menjadi lebih baik: link and match dengan keadaan. Setelah pencanangan Badan Hukum Milik Negara (BHMN) atau korporatisasi perguruan tinggi, perguruan-perguruan tinggi tersebut berlomba-lomba membuka jalur penerimaan baru yang tak mengindahkan saringan akademik. Terjadi lonjakan kuota mahasiswa baru yang diterima di berbagai perguruan tinggi negeri sebagai konsekuensi dari kebijakan ini. Kuota ini tentunya tidak direncanakan secara nasional, terintegrasi dengan kebijakan tenaga kerja, namun tidak lain hanyalah cara untuk mendapatkan dana tambahan bagi perguruan-perguruan tinggi tersebut. <br /><br /><span style="font-weight:bold;">Pelajaran dari Kuba</span><br />Dari keadaan pendidikan Indonesia yang seperti itu, ada beberapa hal yang bisa dipelajari dari sistem pendidikan Kuba (Ministerio de Educación Superior, 2001). Terdapat empat hal berikut yang bisa dipelajari. <span style="font-style:italic;">Pertama</span>, pendidikan gratis untuk seluruh warga negara. Pemerintah Kuba memandang pendidikan merupakan bagian terpenting dalam mempertahankan revolusi Kuba, di mana rakyat mempunyai hak yang sama dalam mengakses pendidikan dan negara berkewajiban menyelenggarakan pendidikan. Akses yang sama ini diwujudkan dalam bentuk pendidikan gratis bagi seluruh warga negara. Sehingga tidak mengherankan, Kuba sekarang menempati posisi teratas di dunia untuk angka melek huruf dan angka rata-rata sekolah per kapita.<br /><br /><span style="font-style:italic;">Kedua</span>, jaminan terhadap persamaan hak ini diwujudkan dengan pendidikan diselenggarakan oleh negara sehingga bisa mewujudkan angka perbandingan guru dan pelajar yang luar biasa, yaitu satu tenaga pengajar untuk 13,6 pelajar. Pemerintah Kuba membelanjakan US$ 1,585 miliar atau setara Rp 13,4725 triliun per tahun untuk pendidikan dengan penduduk 11 juta (bandingkan Indonesia yang hanya membelanjakan Rp 11,5528 triliun pada tahun anggaran 2002 dengan penduduk 220 juta). <br /><br /><span style="font-style:italic;">Ketiga</span>, dengan adanya penyelenggaraan oleh negara, terdapat sistem yang terintegrasi antara orang-orang yang sedang belajar dengan kebutuhan tenaga kerja dan lapangan pekerjaan yang tersedia di seluruh negeri. Dengan ini, persoalan link and match menjadi terpecahkan dengan sistem pendidikan yang terintegrasi secara nasional. Dari sekolah menengah, seorang warga negara dipersiapkan untuk memilih mengikuti pra-universitas atau pendidikan teknisi dan profesional yang akan mengarahkan pada dunia kerja. Dari pra-universitas bisa melanjutkan ke jenjang perguruan tinggi untuk memperdalam bidang akademik yang ingin diperdalam atau menjadi tenaga pengajar.<br /><br /><span style="font-style:italic;">Keempat</span>, dengan menggunakan seleksi akademis itu, pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi benar-benar berada di tangan yang tepat, dengan kompetensi akademis yang benar-benar diarahkan oleh negara. Lulusan-lulusan perguruan tinggi terbaik diarahkan masuk ke 211 lembaga-lembaga penelitian ilmu pengetahuan dan teknologi dari berbagai kajian yang tersebar di seluruh negeri.<br /><br /><span style="font-style:italic;">*Ketua Litbang VHR dan anggota PRP</span><br /><br /></span><div class="blogger-post-footer">http://my.yahoo.com, http://reader.google.com, http://360.yahoo.com</div>Perhimpunan Rakyat Pekerjahttp://www.blogger.com/profile/13408951774927289203noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1105056731449200458.post-55922167433794558452007-06-08T12:53:00.000+07:002007-06-08T12:56:13.629+07:00Dibutuhkan segera Konfederasi Buruh Nasional yang Progresif !!!Dalam beberapa hasil polling terdahulu, PRP mencoba mencari tahu tentang kebutuhan kaum buruh agar kepentingan-kepentingan buruh dapat didengar. Salah satunya adalah konfederasi buruh yang selama ini melakukan dialog dengan pemerintah dan pengusaha untuk membicarakan tentang masalah ketenagakerjaan di Indonesia. Namun dalam hasil polling diungkapkan oleh beberapa pengunjung yang merespon polling PRP, bahwa kepercayaan sebagian besar kaum buruh terhadap konfederasi buruh nasional yang ada saat ini sangat rendah.<br /><span class="fullpost"><br />Namun jelas, bahwa konfederasi buruh nasional untuk mendorong kepentingan-kepentingan buruh menjadi hal yang wajib. Maka dari itu memang sangat dibutuhkan konfederasi buruh nasional yang baru dan lebih progresof dari konfederasi buruh nasional yang ada saat ini.<br /><br />Maka kami mencoba dalam polling kali ini untuk mencari tahu respon kawan-kawan yang mengunjungi weblog PRP tentang Aliansi Buruh Menggugat (ABM) yang merupakan kumpulan serikat-serikat buruh di Indonesia. ABM ini adalah merupakan cikal bakal suatu konfederasi buruh nasional untuk menyaingi keberadaan konfederasi buruh nasional yang diakui oleh pemerintah. Selama ini ABM konsisten dalam memperjuangkan penolakannya terhadap UUK dan revisinya serta juga memperjuangkan upah layak nasional.<br /><br />Dan dari hasil polling kali ini, sebagian besar responden (50%) menyatakan bahwa ABM dapat diharapkan menjadi sebuah konfederasi buruh nasional yang lebih progresf dibandingkan konfederasi yang ada selama ini. Artinya memang ada harapan besar dari kaum buruh agar ABM segera merealisasikan cita-citanya untuk menjadi sebuah konfederasi buruh nasional yang progresif dan benar-benar memperjuangkan kepentingan buruh di Indonesia.<br /><br />Namun sebayak 25% dari responden yang mengisi polling kami, menyatakan ABM tidak diharapkan sebagai konfederasi buruh nasional yang progresif. Mungkin bagi mereka, ABM belum dapat berbuat banyak dalam kancah perburuhan di Indonesia. Atau bahkan responden yang menyatakan ABM tidak dapat diharapakan sebagai sebuah konfederasi buruh nasional, dikarenakan sikap ke-trauma-an atau menganggap ABM bisa jadi akan sama saja seperti konfederasi buruh nasional yang ada selama ini. Memang dibutuhkan sebuah kerja-kerja yang lebih maksimal untuk dapat mencapai cita-cita kesejahteraan bagi kaum buruh.<br /><br />Kemudian sebanyak 25% menyatakan tidak tahu. Artinya ada kemungkinan sebagian kaum buruh di Indonesia bahkan sama sekali belum mengenal ABM dan program-programnya.<br /></span><div class="blogger-post-footer">http://my.yahoo.com, http://reader.google.com, http://360.yahoo.com</div>Perhimpunan Rakyat Pekerjahttp://www.blogger.com/profile/13408951774927289203noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1105056731449200458.post-30909166971707980922007-06-06T18:18:00.000+07:002007-06-06T18:25:20.787+07:00Preman Ekonomi di Balik UUPM<span style="font-style:italic;">Dani Setiawan*</span><br /><br />Ketika mayoritas fraksi di DPR RI, menyetujui Rancangan Undang Undang Penanaman Modal (RUUPM) menjadi Undang Undang Penanaman Modal (UUPM) pada akhir Maret lalu, sebenarnya yang samar-samar telah menjadi terang. Kepentingan mayoritas rakyat, telah dikudeta dan dibikin terkapar di hadapan kepentingan mayoritas “wakilnya.”<br /><span class="fullpost"><br />Disahkannya UUPM, jelas sangat keliru dan mengabaikan kepentingan rakyat banyak yang tidak mengerti ancaman liberalisasi investasi bagi kehidupannya. Tengok saja, belum juga RUU ini dibuat, paket undang-undang invetasi yang lama, yaitu UU Penanaman Modal Asing No. 1/1967 dan UU Penanaman Modal Dalam Negeri No. 6/1968, kerap banyak menimbulkan masalah. Sejumlah persoalan, dari mulai konflik agraria, pencemaran lingkungan oleh korporasi asing/domestik, hingga eksploitasi Sumber Daya Alam yang tidak memberikan manfaat ekonomi bagi peningkatan kesejahteraan rakyat, adalah sebagian contohnya.<br /><br />Masalah investasi memang terlanjur menjadi momok bagi setiap pemerintahan yang berkuasa. Sejak pemerintahan di era Orde Baru hingga sekarang, citra negatif selalu dialamatkan kepada siapa saja presiden yang gagal mendatangkan investor, terutama asing, untuk membiayai pembangunan di Indonesia. Begitupun nasib pemerintahan sebelumnya, harus rela dicaci maki berbagai kalangan karena gagal mendatangkan investasi. Di tengah situasi demikian, biasanya, pemerintah kerap mengeluarkan berbagai regulasi yang intinya memberi kemudahan bagi masuknya investasi di Indonesia. Dalam era Habibie, Abdurahman Wahid hingga Megawati, tidak sedikit regulasi yang berkaitan dengan soal pertanahan, pajak, zona ekonomi khusus, dibuat untuk mengobral potensi ekonomi Indonesia kepada investor.<br /><br />Pencapaian pemerintahan SBY-JK dengan menggolkan RUU Penanaman Modal di DPR, harus dibaca dalam konteks perbedaan mazhab orientasi pengelolaan ekonomi nasional. Pertama , kelompok neoliberal penganjur pasar bebas, yang sejak lama berkomitmen dan penuh kesungguhan untuk mengubah berbagai regulasi yang menghambat terciptanya kesempurnaan ekonomi pasar di Indonesia. Bahkan, kelompok ini menilai bahwa kemacetan liberalisasi ekonomi di Indonesia, bersumber pada pasal 33 Undang Undang Dasar 1945 yang belum dihilangkan. Mereka adalah satu kelompok ekonom beraliran neoklasik yang berkuasa menentukan arah, strategi, dan kebijakan ekonomi negara selama hampir 41 tahun nyaris tanpa henti dari 1966-2007. Dalam sejarahnya, cikal bakal kelompok tersebut dipersiapkan secara sistematis oleh kekuatan luar Indonesia selama sepuluh tahun sebelum berkuasa (1956-1965), sebagai bagian dari strategi perang dingin menghadapi kekuatan progresif dan revolusioner di kawasan Asia.<br /><br />Kelompok kedua adalah nasionalis-populis, yang secara aktif menganjurkan pelaksanaan amanat konstitusi dan ideologi Pancasila dalam pengelolaan ekonomi, khususnya pasal 33 UUD 1945. Bagi kelompok ini, pengelolaan ekonomi nasional secara konsisten harus bersendikan demokrasi ekonomi yang merupakan ijtihad para pendiri bangsa, untuk mengkoreksi warisan struktural ekonomi kolonial di Indonesia. Penjabaran demokrasi ekonomi, sebagaimana tercermin dalam konstitusi, adalah sebagai berikut: pertama, keikutsertaan seluruh anggota masyarakat dalam proses produksi; kedua, keikutsertaan seluruh anggota masyarakat dalam menikmati hasil-hasil produksi; dan ketiga, merupakan inti dari pengertian demokrasi ekonomi, penyelenggaraan produksi dan pembagian hasil-hasilnya itu harus berlangsung di bawah pengawasan anggota-anggota masyarakat.<br /><br /><span style="font-weight:bold;">“Operasi Preman Ekonomi”</span><br /><br />Jika demikian adanya, sungguh menjadi mudah bagi rakyat untuk mendudukkan masalah liberalisasi ekonomi saat ini secara lebih jelas dan terang. Apalagi, kalau kita memperhatikan logika yang digunakan dalam penyusunan RUU Penanaman Modal yang baru saja disahkan.<br /><br />Rangkaian pasal demi pasal dalam RUU Penanaman Modal, sesungguhnya dapat dipahami lewat uraian sederhana. RUU ini dibuat dengan sengaja tidak membedakan sumber pembiayaan investasi, baik yang berasal dari Penanaman Modal Asing atau Modal Dalam Negeri. Langkah ini jelas lebih memudahkan investor asing untuk menanamkan modalnya di Indonesia. Mereka diperkenankan menanamkan modalnya hingga 100 persen, di semua sektor tanpa terkecuali.<br />Setelah itu, berbagai fasilitas diberikan oleh negara. Kemudahan pajak, pemanfaatan lahan yang sangat lama, hingga kebebasan mempekerjakan tenaga ahli asing. Walau disebutkan harus mendahulukan tenaga kerja Indonesia, hampir dipastikan buruh Indonesia yang tidak terdidik hanya akan semakin tereksploitasi dengan sistem upah murah dan jaminan ketenagakerjaan yang tidak layak.<br /><br />Dengan berbagai kemudahan tersebut, hampir tidak ada investor yang tidak tertarik menanamkan modalnya di Indonesia. Selanjutnya, setelah dibiarkan mengeksploitasi ekonomi Indonesia, UUPM memperkenankan investor asing melakukan repatriasi keuntungan yang telah dihasilkan selama berproduksi di Indonesia, ke negara asalnya. Situasi ini mengingatkan saya pada peribahasa orang Betawi: “datang modal dengkul, pulang bawa duit sebakul.” <br /><br />Apapun yang akan terjadi pasca pengesahan UUPM, yang pasti ekonomi Indonesia semakin dijerumuskan untuk melayani kepentingan korporasi besar internasional dalam mengeruk keuntungan. Dan pola ini juga terjadi ketika DPR RI, pemerintah, dan lembaga kreditor internasional, sejak lama terlibat persekongkolan untuk mengesahkan UU Keuangan Negara, UU Ketenagalistrikan, UU Perkebunan, UU Minyak dan Gas, UU Sumber Daya Air, Peraturan Presiden No 65/2006 tentang tanah, UU Badan Usaha Milik Negara, dan sejumlah regulasi lainnya yang bercorak neoliberal.<br /><br />Uniknya, di tengah kontroversi ini, selalu saja muncul sejumlah intelektual maupun politisi yang mencoba meyakinkan publik bahwa liberalisasi dan privatisasi tak dapat ditolak. Seraya terus mengampanyekan bahwa nasionalisme ekonomi adalah barang usang dan sudah pantas dibuang.<br /><br />Kejadian ini mengingatkan kita pada pengakuan John Perkins, seorang Economic Hit Men (EHM) atau preman ekonomi, dalam buku barunya yang berjudul "A Game As Old As Empire: The Secret World of Economic Hit Men and the Web of Global Corruption" (2007), yang disunting Steven Hiatt, yang mengungkap lebih jelas petualangan preman ekonomi saat ini. Dalam kata pengantar, Perkins menyebutkan, jika dirinya dulu bekerja sebagai EHM atas kepentingan kapitalisme Amerika Serikat untuk mengontrol negara-negara berkembang dp masa perang dingin berlangsung, kini disebutkannya operasi EHM sudah sangat kompleks. Praktek kotor lewat korupsi dan suap menjadi semakin meresap dan mendalam. Dan yang lebih penting, operasi preman ekonomi telah secara dalam memasuki wilayah ekonomi dan politik dunia saat ini.<br /><br />Peringatan Perkins ini patut kita garis bawahi. Semakin kita menoleransi praktek penjajahan baru lewat para preman ekonomi, semakin kesejahteraan rakyat hanya tinggal mimpi.<br /><br /><span style="font-style:italic;">*Program Officer Koalisi Anti Utang (KAU)<br /></span><br /></span><div class="blogger-post-footer">http://my.yahoo.com, http://reader.google.com, http://360.yahoo.com</div>Perhimpunan Rakyat Pekerjahttp://www.blogger.com/profile/13408951774927289203noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1105056731449200458.post-77664027321373901712007-06-05T20:41:00.000+07:002007-06-05T20:54:44.440+07:00DAN,… INILAH KEWAJIBAN KAUM INTELEKTUAL BAGI REPUBLIK<span style="font-style:italic;">Sapto Raharjanto*</span><br /><br /><center><span style="font-style:italic;"><span style="font-weight:bold;">Seribu pahlawan bisa lahir dan mati dalam satu hari di negeri ini. Tetapi tak seorang pun ada yang peduli di tanah air kita ini….Dulu dalam kegelapan, seekor kunang-kunang pun bisa menjadi bintang. Sekarang bintang-bintang yang lahir malah dipadamkan.</span></span></center><br /><center><span style="font-weight:bold;"><span style="font-style:italic;">(Pramoedya Ananta Toer)</span></span></center><br /><br />Membicarakan sosok yang satu ini, memang takkan ada habisnya,…seorang yang tanpa basa-basi,..meledak-ledak,..tak merunduk,..serupa api Membakar, berperadu seperti alu dan beras,..dan kemarahan itu terutama sekali ditujukan kepada kolonialisme, feodalisme, kelaliman penguasa, dan terutama kepada sang korup…ya bung Pramoedya Ananta Toer,..sosok yang tak ada habisnya,..dan sosok yang akan selalu dikenang di dalam dunia sastra republik ini, ya dunia sastra untuk sebuah perlawanan terhadap kesewenang-wenangan,…….<br /><span class="fullpost"><br />Apabila kita coba telaah mengenai konsepsi-konsepsi pemikiran dari bung Pram ini, maka akan tersirat berbagai harapan bagi kaum intelektual Indonesia, agar bisa menjadi kaum yang mengabdikan keilmuannya untuk kemanusiaan, keadilan serta nilai-nilai kebenaran yang kian hari, kian surut di republik ini. Dimana si bung mengatakan <span style="font-style:italic;">“Dan bagi saya, keindahan itu terletak pada kemanusiaan, yaitu perjuangan untuk kemanusiaan, pembebasan terhadap penindasan. Jadi keindahan itu terletak pada kemurnian kemanusiaan, bukan dalam mengutak-atik bahasa”</span>.<br /><br />Karena disisi lain, tugas kaum intelektual pastilah memiliki sebuah kewajiban sosial yang wajib untuk dilaksanakan, terutama bagi kesejahteraan dan nilai-nilai kemanusiaan, karena atas keringat dan usaha rakyat maka kelompok kelas menengah di Indonesia ini bisa menikmati fasilitas pendidikan yang kemudian menjadikan mereka sebagai kelompok masyarakat yang dianggap terpandang dan memiliki kelebihan daripada masyarakat awam,..lalu dimanakah tanggung jawab sosial kelas menengah ini,…seperti ungkapan bung Pram <span style="font-style:italic;">Aku menulis, bicara, berbuat, tidak pernah khusus untuk diri sendiri, langsung atau tidak, tak ada seorang seniman berseni untuk diri sendiri, masturbasi. Ada faal social didalamnya, makin dikembangkan faal social itu semakin baik. Tak ada orang makan untuk makan.</span><br /><br />Ada sebuah tanggungjawab sosial yang harus diperhatikan oleh kaum-kaum intelektual di Indonesia, karena kelompok kelas menengah di Indonesia memiliki kecenderungan untuk berdiri di dua sisi, yaitu mereka bisa terus berada di garis untuk mengabdikan kemampuan intelektualnya bagi nilai-nilai kemanusiaan atau mereka akan mengabdikan kemampuan intelektual mereka untuk kepentingan individu mereka.<br /> <br />Di satu pihak dengan munculnya efek industrialisasi, yang begitu banyak menyerap kaum intelektual ini menjadi tenaga-tenaga ahli untuk menjalankan perputaran roda-roda industrialisasi, dimana didalam dunia yang sangat dituntut untuk memiliki profesionalisme dan loyalitas yang tinggi kepada sang majikan tempat mereka mengabdikan ilmunya tersebut, terkadang nilai-nilai kemanusiaan harus mengalami suatu proses pengebirian dan cenderung membuat manusia, khususnya kaum-kaum intelektual menjadi teralienasi dari sebuah nilai-nilai sosial….bung Pram mengungkapkan <span style="font-style:italic;">Bangsa Indonesia adalah”een natie van koelies, en een koeli onder de naties”(bangsa yang terdiri dari kuli, kuli di antara bangsa-bangsa). Kuli ini sebenarnya terbagai atas dua golongan: yang meneteskan keringat dan yang tidak. Yang tidak bisa dinamai priyayi. Apakah para ahli dan sarjana itu dating ke desa sebagai yang tidak berkeringat menengok yang berkeringat??...Bukankah sebelum pertanian dapat ditingkatkan jadi industri, sebelum dihapusnya pembatasan tanah sampai 2-3 ha, tani masih tetap golongan yang berkeringat dan berkedudukan setinggi lutut berbanding yang tidak berkeringat??..selama keadaan tani masih tetap sebagai penyembah tanah, kedudukan sosialnya tetap seperti jaman batu, dan kolonial.</span><br /><br />Ketika para intelektual telah melupakan kewajiban sosialnya, maka diibaratkan republik ini akan kehilangan roh, kehilangan induk ataupun kehilangan sutradara dari sebuah lakon perubahan sosial, karena sang sutradara telah diambil alih oleh sebuah kekuatan besar yang telah membelokkan sebuah kewajiban sosial dari kaum intelektual Indonesia yang harusnya bertanggung jawab sepenuhnya kepada kemanusiaan, keadilan dan kebenaran menjadi sebuah tanggung jawab sosial kepada mesin-mesin industrialisasi,…maka bung Pram pun mengutarakan <span style="font-style:italic;">dalam sejarah umat manusia selalu bisa ditemukan bangsa-bangsa besar yang jatuh menukik jadi bangsa kelas kambing, bangsa yang mengadabkan umat manusia jatuh jadi bangsa penggembala, bahkan bangsa Indonesia yang pernah merajai lautan bisa jadi bangsa kuli selama tigaratus limapuluh tahun atau bahkan seterusnya, bangsa Indian yang merajai perairan tanpa tepi, bisa tersorong masuk dalam reservat para pendatang dan punah,</span>…sekarang tinggal bagaimana kaum intelektual Indonesia memilih,..mau di bawa kemana bangsa ini????..... <br /><br /><center><span style="font-style:italic;"><span style="font-weight:bold;">Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah……..Menulis adalah bekerja untuk keabadian</span><br /></span></center><br /><br /><span style="font-style:italic;">*Mahasiswa Jurusan Ilmu Sejarah Fakultas Sastra Universitas Jember, Jawa Timur dan Ketua Biro Penerbitan Centre of Local Economic and Politic Studies (CoLEPS) Jember</span><br /><br /></span><div class="blogger-post-footer">http://my.yahoo.com, http://reader.google.com, http://360.yahoo.com</div>Perhimpunan Rakyat Pekerjahttp://www.blogger.com/profile/13408951774927289203noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1105056731449200458.post-42124310112732651032007-06-05T18:48:00.000+07:002007-06-05T18:57:36.289+07:00PT Exxon Mobile harus bertanggung jawab<center><span style="font-weight:bold;">PERNYATAAN SIKAP<br />PERHIMPUNAN RAKYAT PEKERJA (PRP)</span></center><br /><br /><center><span style="font-style:italic;">PT Exxon Mobile harus bertanggung jawab terhadap buruhnya !!!<br />PT Exxon Mobile melanggar keputusan MA !!!<br />Negara harus memaksa PT Exxon Mobile membayar PAP !!!</span></center><br /><br /><br />Salam Rakyat Pekerja,<br /><br />PT Exxon Mobile sebagai perusahaan Multi Nasional yang “menumpang” berusaha di tanah Indonesia, ternyata telah menelantarkan buruhnya. PT Exxon Mobile yang telah “menumpang” usaha di Indonesia, sampai saat ini tidak mau memenuhi hak-hak buruhnya. PT Exxon Mobile tidak mau membayarkan biaya Penghargaan Atas Pengabdian (PAP) kepada buruhnya telah dipensiun dini. Akibat hal ini sekitar 30 mantan buruh PT Exxon Mobile pada hari ini melakukan aksi di depan kantor pusat perusahaan minyak asing tersebut.<br /><span class="fullpost"><br />Hal ini berawal ketika pada tahun 1995, PT Exxon Mobile menawarkan pensiun dini kepada buruhnya karena tingkat produksi perusahaan tersebut semakin berkurang. Pada tahun 1996, sebanyak 421 buruh resmi menerima tawaran perusahaan untuk pensiun dini. Namun pada saat itu, buruh yang menerima pensiun dini hanya mendapatkan dana pensiun biasa, sedangkan biaya Penghargaan Atas Pengabdian sampai saat ini belum dibayarkan oleh perusahaan tersebut.<br /><br />Baru pada tahun 1999, 224 mantan buruh yang telah menerima pensiun dini memperkarakan PT Exxon Mobile ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Tuntutan para mantan buruh tersebut akhirnya dikabulkan oleh PN Jakarta Pusat. Pihak PT Exxon Mobile kemudian melakukan usaha banding hingga ke Mahkamah Agung. Namun lagi-lagi MA memenangkan tuntutan buruh. Berdasarkan keputusan MA, PT Exxon Mobile akhirnya diharuskan membayar Rp 26 miliar lebih biaya PAP pada tahun 2006. <br /><br />Kemenangan ke-224 mantan buruh tersebut memicu mantan buruh yang lainnya, yang sampai saat ini belum mendapatkan PAP, untuk menuntut hak mereka. 96 mantan buruh PT Exxon Mobile yang belum terpenuhi hak-haknya kemudian mensomasi PT Exxon Mobile. Namun sudah tiga kali surat somasi dilayangkan ke PT Exxon Mobile dan sampai saat ini PT Exxon Mobile tidak menanggapi surat tersebut. Maka dari itu akhirnya para mantan buruh tersebut melakukan aksi unjuk rasa di depan kantor pusat perusahaan minyak asing tersebut.<br /><br />Jelas bahwa PT Exxon Mobile telah melakukan kecurangan terhadap para mantan buruhnya. Bahkan PT Exxon Mobile tidak peduli dengan nasib para mantan buruhnya. Hal ini dapat dilihat dengan sikap PT Exxon Mobile yang tidak menanggapi surat somasi yang telah dilayangkan beberapa kali oleh mantan buruhnya. Negara seharusnya dapat memaksa PT Exxon Mobile untuk segera memenuhi hak-hak mantan buruhnya. Karena hal tersebut sudah menjadi tanggung jawab PT Exxon Mobile. Bahkan negara seharusnya dapat berperan lebih banyak, karena PT Exxon Mobile, yang merupakan perusahaan perminyakan asing, telah menelantarkan warga negara Indonesia.<br /><br />Maka dari itu, kami dari Perhimpunan Rakyat Pekerja (PRP) menyatakan sikap:<br /><OL><br /><LI>PT Exxon Mobile harus segera membayar biaya Penghargaan Atas Pengabdian (PAP) kepada mantan buruhnya. Karena ini sudah merupakan tanggung jawabnya PT Exxon Mobile untuk memenuhi hak-hak buruh dan mantan buruhnya.<br /><LI>PT Exxon Mobile harus diusut karena perusahaan tersebut telah melanggar peraturan ketenagakerjaan di Indonesia.<br /><LI>Negara harus memaksa PT Exxon Mobile untuk segera memenuhi hak-hak buruh dan mantan buruhnya.<br /><LI>Negara harus mempertimbangkan kembali perjanjian kontrak antara Indonesia dengan PT Exxon Mobile, karena PT Exxon Mobile tidak menghomarti peraturan ketenagakerjaan yang berlaku di Indonesia dan menelantarkan buruh yang merupakan warga negara Indonesia.<br /><LI>Kepada seluruh elemen gerakan rakyat untuk segera membentuk perlawanan rakyat pekerja multi sektor dan melakukan perlawanan terhadap segala penindasan kepada rakyat Indonesia yang dilakukan oleh negara dan perusahaan.<br /></OL><br /><br /><center>Jakarta, 5 Juni 2007<br />Komite Pusat Perhimpunan Rakyat Pekerja</center><br /><br /><br />Sekretaris Jenderal<br /><br /><br /><br /> Irwansyah<br /><br /><br /><br /></span><div class="blogger-post-footer">http://my.yahoo.com, http://reader.google.com, http://360.yahoo.com</div>Perhimpunan Rakyat Pekerjahttp://www.blogger.com/profile/13408951774927289203noreply@blogger.com0