Referensi

Jasa Web Design

Sunday, December 2, 2007

JAKARTA - Keinginan tiga terpidana Bom Bali 2002 Amrozi, Imam Samudra, dan Ali Ghufron alias Muklas untuk dieksekusi secara bergilir sesuai nomor urut, tampaknya tinggal impian. Kejaksaan Agung (Kejagung) menolak keinginan yang diajukan Amrozi dkk melalui uji material (judicial review) ke Mahkamah Konstitusi (MK) tersebut.

"Uji material tidak menunda pelaksanaan eksekusi. Setelah mendapat salinan putusan, kejaksaan hanya tinggal menunggu kepastian pengajuan grasi atau tidak," tegas Jaksa Agung Hendarman Supandji yang ditemui seusai salat Jumat (30/11) di Masjid Baitul Adli, Kejagung.

Menurut Hendarman, sesuai ketentuan KUHAP, hak-hak terpidana mati melakukan upaya hukum luar biasa berupa grasi harus dihormati. Apabila Amrozi dkk memastikan grasi, kejaksaan wajib menunda eksekusi. "Kalau terlanjur dieksekusi lalu (terpidananya) mati, nanti bagaimana yang mengajukan grasinya," ujar alumnus Hukum Undip, Semarang ini.

Sebelumnya, Koordinator Tim Pembela Muslim (TPM) Mahendradatta mendatangi Gedung MK pada Kamis lalu (29/11). Mereka akan mengajukan uji material terhadap UU No 2 Tahun 1964 tentang tata cara pelaksanaan hukuman mati.

Melalui uji material tersebut, Amrozi dkk menginginkan pelaksanaan eksekusinya digilir sesuai nomor urut atau terjadinya tindak pidana. "Jika memang Amrozi dkk harus dieksekusi, seharusnya terpidana lain -yang lebih dahulu-dieksekusi. Terpidana yang antre harus didahulukan eksekusinya, nanti baru klien kami," ujar Mahendradatta. TPM sudah memberitahukan permintaan tersebut ke Kejagung.

Menurut Mahendradatta, pengajuan uji material tidak bertujuan menghambat eksekusi, apalagi anggapan kliennya takut dieksekusi. Melalui uji material, Amrozi dkk ingin eksekusinya disesuaikan ketentuan syariat.

Hendarman menegaskan, kejaksaan berpatokan pada UU No 2 Tahun 1964 tentang tata cara pelaksanaan hukuman mati. "JAM Pidum kan sudah menjelaskan semuanya," ujar Hendarman.

Menurut Hendarman, kejaksaan juga sudah mendengar bahwa Amrozi dkk tidak akan mengajukan grasi. Namun, untuk memastikannya, kejaksaan perlu penyataan tertulis. "Kalau mereka tidak mengajukan grasi, bagaimana ahli warisnya, apakah keluarganya juga setuju menolak mengajukan grasi. Ini kan perlu kepastian hukum," tandas Hendarman.

Soal salinan putusan, lanjut Hendarman, Mahkamah Agung (MA) tak kunjung melimpahkan ke kejaksaan. "Kami masih menunggu," ujar mantan JAM pidana khusus ini. Menurut Hendarman, hingga kemarin, kejaksaan hanya menerima petikan putusan alias ekstrak vonis.

Sebelumnya, sedikitnya empat negara menanyakan kelanjutan pelaksanaan eksekusi Amrozi dkk. Mereka merupakan negara-negara yang warga negaranya menjadi korban terbanyak pada peledakan bom yang mengakibatkan 202 korban jiwa. Negara-negara tersebut adalah Australia, Selandia Baru, Inggris, dan Korea Selatan (Korsel). Kedubesnya masing-masing menanyakan ke Kejagung melalui Departemen Luar Negeri (Deplu) RI. Kejagung sendiri mengabaikan desakan empat negara tersebut, dengan tetap menunggu keluarnya salinan putusan dari MA.

Terpisah, Ketua Mahkamah Agung Bagir Manan justru mengaku heran mengapa Kejagung tak berani mengeksekusi Amrozi Cs meski kutipan putusan sudah diserahkan ke pihak kejaksaan. "Saya tidak mengerti itu, memang ada beda (antara isi kutipan dengan isi salinan putusan lengkap, Red) itu," ujarnya ketika ditemui usai Salat Jumat (30/11) di Gedung MA kemarin.

Source

Silahkan Beri Komentar Anda Mengenai Berita/Artikel Ini.

0 comments:

 

Power by Grandparagon @ 2007 - 2008 Beritadotcom.blogspot.com