Referensi

Jasa Web Design

Wednesday, January 2, 2008

TEMPO Interaktif, Jakarta:Pengamat masalah anak dari Universitas Indonesia, Purnianti mengatakan banyak kasus pelanggaran hak anak yang tak terungkap. Data 40,3 juta pelanggaran hak anak hanya angka yang berhasil didokumentasikan oleh Komisi Nasional Perlindungan Anak.

"Fakta di lapangan 15 persen lebih tinggi dari 40,3 juta," katanya saat dihubungi Tempo, Senin lalu.

Jumat lalu, Komisi Nasional Perlindungan Anak mengungkapkan sepanjang tahun 2007, sebanyak 40,3 juta anak telah dilanggar haknya. Pelanggaran tertinggi adalah hak anak menempuh pendidikan (33,9 juta), hak jaminan kesehatan (3,2 juta), dan eksploitasi anak (3,16 juta).

Menurut Purnianti banyak data yang tidak tercatat karena keterbatasan akses, pencatatan dan ketidaktahuan masyarakat untuk melaporkan kasus pelanggaran. Ia membenarkan sepanjang 2007, pemenuhan kebutuhan dasar anak belum terpenuhi. Keluarga masih menganggap anak sebagai aset untuk membantu ekonomi keluarga. Akibatnya, keluarga tidak memprioritaskan kebutuhan anak untuk bersekolah melainkan bekerja di usia sangat muda. "Anak tidak bisa belajar, bermain, bersosialisasi dan mengembangkan kepribadian dengan baik," katanya.

Tanggungjawab pada pemenuhan hak-hak anak, Purnianti melanjutkan, ada pada negara melalui berbagai kebijakan. Namun ironisnya, kebijakan sektoral tidak pernah memprioritaskan anak. Koordinasi antar departemen yang bertanggungjawab menjamin hak anak seperti Kementrian Pemberdayaan Perempuan, Departemen Sosial, Departemen Kesehatan, Departemen Tenaga Kerja tidak integratif. "Kepedulian di tingkat sektoral rendah. Alokasi anggaran bagi anak juga sangat minim," katanya.

Pengamat pendidikan dari Universitas Negeri Jakarta, Arief Rachman, mengatakan tingginya pelanggaran hak anak karena ketidakmerataan akses pendidikan di daerah terpencil dan kemiskinan.

Data dari Komnas Perlindungan Anak menyebutkan sepanjang tahun 2007 sebanyak 4.370.492 anak putus sekolah SD, 18.296.332 anak putus sekolah SMP, dan 325.393 anak putus sekolah SMA. Sedangkan 11 juta anak sisanya buta huruf karena tidak sekolah.

Arief juga menyoroti masalah ketidaktepatan penggunaan anggaran pendidikan dan kesalahan manajemen pendidikan di Indonesia. Menurutnya, sebagian besar alokasi anggaran justru habis untuk penyerapan anggaran birokrasi bukan perbaikan proses belajar mengajar dan peningkatan mutu pendidikan.

"Anggaran pendidikan mubazir pada kantong-kantong yang tidak perlu," katanya. Ninin Damayanti

Source

Silahkan Beri Komentar Anda Mengenai Berita/Artikel Ini.

0 comments:

 

Power by Grandparagon @ 2007 - 2008 Beritadotcom.blogspot.com