Referensi

Jasa Web Design

Thursday, February 7, 2008

Tujuh RUU Ancam Kebebasan Pers

Tujuh RUU mengancam proses kebebasan pers nasional. Tak pelak, keberadaan RUU ini mencerminkan kerinduan kuat untuk kembali mengontrol secara ketat kebebasan media massa dan kehidupan masyarakat pada umumnya.

Demikian benang merah yang mengemuka dalam dialog publik dan diskusi buku Kontra Kebebasan Pers: Studi Atas Beberapa RUU di Jakarta Media Center (JMC) Jl Kebon Sirih, Jakarta Pusat, Rabu (6/2).

Berbicara dalam acara tersebut anggota DPR Marzuki Darusman, pengamat Daniel Dhakidae, praktisi pers Saur Hutabarat, dan Agus Sudibyo sebagai tim penulis buku.

Dalam dialog yang dipandu Felix Jebarus dari London School PR ini, Agus Sudibyo mengemukakan tujuh RUU yang mengancam kebebasan pers itu, yakni RUU Pers, Rivisi KUHP, RUU Kerahasiaan Negara, RUU Pornografi, RUU Intelijen, RUU Kebahasaan, dan RUU Pelayanan Publik. RUU Pornografi merupakan inisiatif DPR, enam lainnya inisiatif depatemen terkait.

Dalam RUU Pers pemerintah tetap menghendaki pemberlakuan bredel, dan larangan siaran untuk pers yang memuat berita atau gambar atau iklan yang merendahkan martabat suatu agama, mengganggu kerukunan hidup antarumat beragama, bertentangan dengan rasa kesusilaan masyarakat, dan membahayakan sistem penyelenggaraan pertahanan dan keamanan nasional.

”Sensor dan bredel tetap bisa diberlakukan dengan alasan-alasan yang sangat luas dan multi tafsir,” keluh Deputi Direktur Yayasan SET ini.

Sedangkan, RUU lainnya, meski tidak secara langsung meregulasi pers di dalamnya terdapt pasal-pasal ‘penertiban’ atas ranah kebebasan bereksprersi dan kebebasan informasi. Dalam implementasinya nanti sangat berpotensi untuk mengancam eksistensi kebebasan pers.

Ada beberapa kecenderungan dominan, ujarnya, dalam berbagai RUU ini yang patut diwaspadai oleh komunitas pers. Kebebasan pers sebagai sesuatu yang abnormal, anarkis, dan kontraproduktif.

Negara menyuburkan watak politik yang feodal, konservatif, dan antiperubahan. Menguatnya gejala substansialisasi dan sakralisasi negara. ”Negara berhak mengatur apa saja dalam domain publik dan individu,” tegasnya seraya menambahkan dengan berbagai RUU ini sangat terasa tendensi pelebaran fungsi-fungsi negara.

Sementara itu, Praktisi Pers Saur Hutabarat mengatakan jangan sampai berbagai RUU ini masuk ke DPR. Lebih baik dipetieskan atau di buang ke laut.

”Buku ini akan menjadi bukti sejarah kepada anak cucu kita bahwa pernah ada RUU semacam ini,” ujarnya sembari mengatakan lebih baik DPR membahas hal-hal yang penting dan bermanfaat seperti Pilkada, misalnya.

Dia mengatakan menteri yang terkait dengan RUU Pers sudah berjanji tidak akan memasukkan RUU Pers itu ke DPR. Akan tetapi, itu baru janji indivual. Kalaupun digolkan di DPR tetap akan diuji materi di Mahkamah Konstitusi, karena berbagai RUU ini bertentangan dengan konstitusi kita.

Pertimbangannya, seperti dikatakan oleh anggota DPR Marzuki Darusman jangan berharap banyak kepada anggota DPR untuk memperbaiki dan menghilangkan pasal-pasal yang mengancam kebebasan pers tersebut.

”Jangan terlalu banyak berharap dengan DPR, saya tahu, saya di situ,” ujar mantan Jaksa Agung ini.

Marzuki mengatakan keberadaan RUU itu mencerminkan adanya krisis otoritas di tengah upaya untuk membangun demokrasi di Indonesia ini.

Namun, di sisi lain, Daniel Dhakidae mengatakan negara ini tidaklah cukup mampu untuk menjadi negara yang menganut totalitarianisme. Sebab, membutuhkan loyalitas total, tanpa syarat. Kalaupun ada itu hanya paham totalitarian-totalitarianan, bukan yang sesungguhnya.

Peserta dialog dari Dewan Pers Abdullah Alamudi mengatakan sikap Dewan Pers terhadap RUU Pers setuju asalkan misinya untuk memperkuat kemerdekaan pers, kalau tidak nanti dulu.

Source

Silahkan Beri Komentar Anda Mengenai Berita/Artikel Ini.

0 comments:

 

Power by Grandparagon @ 2007 - 2008 Beritadotcom.blogspot.com