Referensi

Jasa Web Design

Thursday, February 28, 2008

XL Ingin Kasus SMS Dihentikan

Jakarta: PT Exelcomindo Pratama Tbk. (XL) menilai pengusutan kasus dugaan kartel pesan pendek (SMS) oleh Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) seharusnya dihentikan. “Mungkin kami salah prosedur ketika itu, tapi setelah ditegur sudah kami perbaiki,” kata Direktur Utama XL Hasnul Suhaimi Hasnul kepada Tempo di Jakarta kemarin.

Ia mengakui perusahaannya meneken perjanjian dengan PT Hutchinson (Three) untuk kerjasama interkoneksi. Tapi XL tak pernah berniat melakukan persekongkolan harga. Perjanjian kerjasama dilakukan untuk menjaga kualitas bisnis industri telekomunikasi.

Perhitungan tarif juga dibuat dengan wajar. Bukan bersekongkol menentukan harga, melainkan mengatur jaringan. Apalagi, perjanjian itu bersifat bilateral. “Kalau kami berniat bersekongkol, pasti dilakukan bersama-sama (dengan semua operator).”

Majelis pemeriksa KPPU menganggap perjanjian XL-Hutchinson sebagai bukti kuat persekongkolan perusahaan sejenis untuk menetapkan harga. Bukti perjanjian yang ditemukan dalam pemeriksaan Januari 2008 ini memuat klausul yang melarang Hutchinson mematok tarif di bawah Rp 250 per SMS.

KPPU mengindikasikan hanya membidik enam operator karena terbukti menandatangani perjanjian penetapan tarif. Mereka adalah PT XL, Hutchinson, Telekomunikasi Seluler (Telkomsel), PT Bakrie Telecom Tbk. (Esia), PT Mobile 8 (Fren), dan PT Natrindo Telepon Seluler (NTS).

Ketua majelis pemeriksa Deddy Martadisastra mengatakan bukti keikutsertaan dua operator lainnya, PT Indosat Tbk. dan PT Smart Telecom (Smart), belum cukup kuat sebab tak ditemukan bukti perjanjian. “Daripada bukti yang kami bawa abu-abu, lebih baik yang sudah jelas bersalah kami ajukan ke sidang majelis,” katanya kemarin.

Pengusutan dugaan kartel tarif SMS atas delapan operator telah memasuki tahap pemeriksaan lanjutan sejak awal Januari 2008. Batas waktu pemeriksaan lanjutan 60 hari kerja akan habis pada Maret nanti. Mereka dituduh bersekongkol menetapkan tarif SMS sehingga pelanggan dirugikan.

Dugaan ini berdasarkan perhitungan Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) bahwa ongkos produksi per SMS kala itu Rp 76. Tapi operator menjual kepada pengguna Rp 250-350. Apalagi, tarif tak ebrubah selam beberapa tahun padahal ongkos produksi terus menyusut.

Direktur Hutchinson Sidharta Sidik tak mau berkomentar. Ia menyatakan masih menunggu hasil pemeriksaan. “Kami ingin tahu mengapa dianggap salah,” ucapnya.

Deddy menjelaskan, penetapan harga tak hanya bisa dibuktikan lewat dokumen perjanjian, juga perilaku operator di pasar. Penetapan harga bisa dilakukan tanpa perjanjian. Buktinya tarif rata-rata sama. Tapi pembuktiannya sulit.

Tiap operator mempunyai struktur perhitungan biaya masing-masing. Komponen skala ekonomi setiap operator pun berbeda. Sedangkan KKPU tak mempunyai kapasitas dan waktu untuk menghitung skema biaya semua operator.

Menurut Deddy, batas waktu pemeriksaan masih tersisa. KPPU berupaya membuktikan kesalahan delapan operator. Jika disetujui, pemeriksa akan memperpanjang waktu pemeriksaan 30 hari.

Source

0 comments:

 

Power by Grandparagon @ 2007 - 2008 Beritadotcom.blogspot.com